SERUMAH

300 10 2
                                    

Malam itu Nesa berbaring miring di dalam kamar Reza. Bukan, kamar mereka. Setelah acara pernikahan sederhana mereka, Reza langsung memboyongnya untuk tinggal bersama.
"Kamarku ada di sebelah tangga," kata Reza setelah mereka masuk ke dalam rumah.
"Ada kamar lain?" tanya Nesa tanpa menyadari ekspresi suaminya.
"Apa maksudmu?"
Nesa baru menyadari bahwa pertanyaan itu merupakan sebuab kesalahan.
"Kupikir aku bisa menempati kamar yang lain dan kamu bisa istirahat."
Reza langsung menyahut koper Nesa dengan kasar.
"Kamu tidur di sana." geramnya.
Setelah meletakkan koper istrinya di samping tempat tidur, Reza langsung pergi dari kamar itu meninggalkan Nesa yang berdiri kaku.
"Jangan menangis, Nes," bisiknya sebelum menutup pintu kamar dan berbaring di tempat tidur.
Entah mengapa Nesa merasa terkuras. Pernikahan mereka yang sederhana tentunya bukan penyebab kelelahannya. Dia yakin bahwa dirinya tak akan sanggup lagi menerima hal lain malam ini. Malam pertama atau apa pun itu, Reza tidak akan mendapatkannya malam ini. Ketika dia mendengar suara pintu dibuka, Nesa memejamkan mata dan sebisa mungkin merilekskan tubuhnya seakan tertidur. Didengarnya Reza melangkah mendekat dan mendesah. Butuh usaha keras baginya untuk membuat tubuhnya terlihat rileks sebab dia menahan gemetar tubuhnya yang khawatir.
Jika saja Reza menghiburnya dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja. Samar-samar didengarnya suara pintu terbanting. Nesa menghitung sampai sepuluh sebelum perlahan berbalik dan menemukan dirinya sendiri di dalam kamar itu. Beringsut duduk di tengah ranjang, Nesa melepaskan sebuah isakan yang lolos dari dadanya begitu saja.
Reza bersandar di luar pintu kamar dan mendengar isakan teredam. Dia tahu bahwa Nesa pura-pura tidur. Kali ini dia tidak bisa membenahi yang sudah terjadi. Keinginannya untuk memerangkap Nesa bersamanya merupakan sikap impulsif. Saat dia melihat Nesa yang ketakutan di ruang tamu rumahnya, pernikahan muncul begitu saja dalam otaknya. Merelakan Nesa waktu itu merupakan sebuah kesalahan. Kepergian Nesa membuatnya tersiksa. Dan dia akan melakuka  apa pun agar Nesa bisa kembali berada di sisinya. Tempat di mana seharusnya wanita itu berada.

#########

Paginya Reza terbangun oleh suara berisik di dalam rumahnya. Perlahan dia membuka mata, merasakan tubuhnya kaku karena semalaman tidur di sofa dan langsung menyadari ada sesuatu yang salah. Dia langsung bergegas ke luar menuju sumber suara berisik yang membangunkannya. Suara itu berasal dari dapur dan dia juga mendengar rintiha  kesakitan.
Suara rintihan itu pasti milik Nesa, yang saat ini berada di bawah meja bar. Istrinya itu sedang berjongkok di antara pecahan gelas yang berserakan di lantai dengan kaki terluka.
"Apa yang kamu lakukan?" tanyanya meraih tangan wanita itu untuk berdiri. Dan seketika mengumpat dalam hati melihat keterkejutan di dalam wanita itu. Pertanyaannya tadi terdengar sedikit keras bahkan bagi telinganya sendiri.
"Aku ingin membuatkanmu sarapan. Tanpa sengaja aku menyenggol gelas yang....."
"Tidak bisakah kamu berhati-hati sedikit? Kukira ada orang lain di rumah ini."
Mendengar kalimat itu Nesa seperti memperoleh kembali amarahnya. Beberapa minggu terakhir ini amarah itu seolah mengering akibat rasa sedihnya. Sejak dia kembali dan mendapati pernikahan yang dipersiapkan oleh Reza, Nesa bahkan tak sanggup untuk merasa marah. Tapi bagaimana mungkin laki-laki yang sudah menjadi suaminya itu berpikir dia orang lain?
Dengan kasar Nesa menyentakkan lengannya dari genggaman Reza dan kembali berjongkok untuk membersihkan pecahan gelas. Menyadari bahwa air matanya mengancam keluar membuag Nesa semakin kesal. Hari pertama rumah tangga mereka dan Reza mengira istrinya sendiri adalah orang lain.
"Tinggalkan itu! Jangan memperburuk keadaan dengan melukai dirimu sendiri."
Cukup sudah. Nesa tidak bisa menerima lebih dari ini. Tanpa menyembunyikan amarahnya, dia berdiri.
"Kau pikir aku bodoh atau apa?" serunya. "Aku hanya ingin membuat sarapan untuk kita berdua. Apa itu salah?"
Tanpa menunggu reaksi Reza, dia berderap kembali ke kamar.
Reza bergegas mengikuti istrinya itu dengan rasa kesal. Tanpa sengaja dia melihat bercak itu di lantai, bercak darah, tepat dimana Nesa tadi melangkah. Ya Tuhan, pernikahan macam apa sebenarnya yang mereka jalani saat ini? Pagi hari pertama mereka menjadi sepasang suami istri dan...
Di dalam kamar, Nesa duduk memeluk kedua lututnya. Ketika suaminya masuk buru-buru dipalingkannya wajah yang sudah dialiri air mata. Duduk di hadapan wanita itu Reza berkata lembut, "Maaf. Aku masih belum terjaga sepenuhnya dari tidur." Dengan lembut dia meraih kaki Nesa yang terluka dan merawat luka di telapak kaki istrinya itu. Luka itu hanya berupa goresan. Tapi dia tahu Nesa akan merasa kesakitan. Dia mengenal istrinya itu dan tahu toleransi Nesa terhadap rasa sakit.
"Apakah kesalahanku begitu besar?" bisik Nesa, masih belum memandang suaminya. "Meninggalkanmu tiga tahun lalu, apakah membuatku pantas menerima hukuman seperti ini?"
Reza memandang Nesa yang masih juga belum mau menatapnya. Matanya mempelajari sosok wanita itu. Pagi ini Nesa mengenakan kaos putih panjang dipadu dengan legging. Rambutnya tergerai lurus begitu saja. Tirai hitam lembut menyentuh punggung mungilnya. Dengan posisi meringkuk seperti saat ini, Nesa terlihat begitu kecil dan rapuh. Reza mengenali hasrat itu. Nesa hanya perlu tampil apa adanya, tanpa riasan, tanpa asesoris apa pun untuk membuatnya rela memohon agar bisa menyentuh wanita itu. Tanpa sadar, tangannya terangkat untuk membelai rambut wanita itu dan seolah menimbang beratnya. Nesa masih bergeming. Perlaha  dia menyibakkan rambut hitam Nesa dan mendapati kulit istrinya yang putih bersih. Pemandangan itu dan juga mata Nesa saat dia menyentuh dagunya untuk berhadapan dengannyalah yang menjadikan pagi itu sebagai pagi pertama mereka.

###########

Nesa mematikan shower dan membalut tubuhnya dengan handuk. Dia terbangun tanpa Reza di sisinya. Melihat kelembutan Reza sewaktu merawat luka di telapak kakinya tadi membuka semua emosinya. Dia membutuhkan Reza dan suaminya itu memberikan kelembutannya. Tapi tetap saja dia merasa sedikit kecewa saat terbangun sendiri tanpa pesan dari Reza.
Duduk di depan cermin kamar itu, Nesa mengeringkan rambutnya. Tak ada pengering rambut di tempat ini. Dia juga belum membawa semua barang dari rumahnya. Rumah ini dulunya hanya ditinggali oleh Reza dan almarhum ibunya. Sepeninggal ibunya rumah ini menjadi rumah khas bujangan. Bahkan kamar Reza benar-benar minimalis. Hanya ada tiga benda dalam ruangan yang cukup besar ini. Tempat tidur, lemari pakaian, dan TV yang menempel di dinding. Tidak ada meja rias, kapstok pakaian, ataupun laci.
Nesa kembali ke dapur dan mendapati dapur itu bersih seperti semula. Pasti Reza sudah membersihkan pecahan gelas yang berserakan tadi. Dibukanya kulkas berwarna merah tua di sudut dapur dan tersenyum riang melihat isi kulkas yang beragam. Telur, sekarton susu dan jus apel, serta botol air memenuhi bagian dalam pintu kulkas. Dia menemukan daging ayam di dalam freezer. Hari ini dia akan membuat ayam kecap favorit Reza. Bahkan setelah tiga tahun berlalu, dia masih ingat kegemaran laki-laki itu.

TerperangkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang