Suara gemuruh membangunkan Nesa. Dia terlonjak dari sofa dan mendapati ruangan tempatnya berada gelap karena huja lebat di lur sana. Diliriknya jam dinding di atas televisi, jam lima sore. Setelah menghidupkan lampu di seluruh rumah, dia langsung menuju ke kamar untuk mandi. Ternyata Reza sudah terlelap di tempat tidur.
"Kenapa tak membangunkanku, Za?" bisiknya mendekati suaminya itu. Tiba-tiba sengatan rasa kecewa hampir membuatnya melampiaskan kemarahannya pada laki-laki itu. Pagi ini mereka membuat sebuah kenangan indah bersama, tapi sekarang Reza kembali mengabaikannya. Namun saat dia berdiri di samping suaminya yang tertidur pulas dan melihat wajah damai itu, seketika amarahnya menguap. Inilah Reza yang dirindukannya selama ini. Tampan, hangat, dan menyejukkan. Alih-alih membangunkan laki-laki itu, Nesa meraih selimut di kaki tempat tidur dan membentangkannya menutupi tubuh suaminya.
"Tidur yang nyenyak ya, Suamiku."
#########"Pagi," sapa Nesa pada Reza yang sudah rapi dan menuju meja makan. Laki-laki itu hanya mengangguk singkat dan langsung duduk di salah satu kursi yang mengelilingi meja makan tersebut. Dengan sigap Nesa langsung menghidangkan secangkir kopi serta sepiring nasi goreng di hadapan suaminya.
"Apa hari ini kamu akan pulang terlambat? Bangunkan saja aku jika ketiduran seperti kemarin."
"Aku mendengar nada perintah dalam suaramu," sahut Reza tanpa mengalihkan pandangan dari cangkir kopinya.
Nesa tersentak dan memandang suaminya dengan tatapan tidak percaya.
"Aku khawatir," Nesa berusaha menekan amarahnya dengan kata-kata lembut. "Hanya itu."
Kali ini Reza meletakkan sendok di atas piringnya yang masih separuh isi. Berdiri menatap Nesa dia berkata, "Aku tidak akan pulang terlambat. Hanya perlu memeriksa peternakan."
Sebelum sempat bereaksi Nesa mendapati dirinya diraih ke dalam pelukan suaminya.
"Kamu selalu mengagumi ini dalam film," bisik Reza sembari menangkup wajah Nesa dan menciumnya. Samar-samar Nesa mengingat bahwa dia memang selalu menyukai adegan klise seperti ini. Ketika sang suami memberikan ciuman selamat pagi kepada istrinya.
Nesa membenci dirinya sendiri karena begitu mudah luluh dalam sentuhan Reza. Saat Reza menyentuhnya dia merasa hangat dan lengkap. Tetapi kelembutan suaminya itu hanyalah ilusi. Bagaimana tidak, jika Reza tidak pernah bersikap layaknya suami yang peduli. Umur mereka yang bisa dihitung dengan jari serasa sudah berumur ratusan tahun sehingga hubungan mereka kaku satu sama lain karena bosan.
Dia tidak boleh larut dalam ilusi ini. Karena itulah Nesa memutuskan untuk rehat dan kembali ke rumahnya. Mengambil sisa barang-barang pribadinya dan juga berbelanja sepertinya menjadi ide yang bagus. Dia membutuhkan aktivitas feminin seperti berbelanja untuk menyingkirkan kekhawatiran dari ikatan ini. Dan memikirkan barang-barang yang bisa dibelinya nanti sudah bisa membuatnya tersenyum senang. Ah, bukankah wanita itu sederhana?
Ingat bahwa saat ini dia sudah bersuami, Nesa menghubungi Reza untuk memberitahukan rencananya hari ini. Tetapi saat panggilannya tidak terjawab dan operator telepon memintanya meninggalkan pesan suara, Nesa mengirimkan sebuah pesan.
Aku pergi sebentar ke rumah ibu sekalian belanja.
Setelah lama dilingkupi ketegangan di rumah barunya, akhirnya Nesa bisa merasakan sedikit kelegaan saat melangkah keluar rumah. Karena tidak mungkin membawa serta barang-barangnya dalam acara belanja maka Nesa langsung menuju pusat perbelanjaan. Tanpa pikir panjang Nesa langsung menuju toko sepatu, tempat benda favoritnya berada. Setelah lama mencoba dan memilih, akhirnya dia memutuskan untuk membeli sandal berwarna hitam dengan strap silver dan sebuah sepatu datar krem. Ada sepatu berhak tujuh senti yang diinginkannya, tetapi dia mengurungkan niat membeli sepatu itu. Setelah kembali dari rantau dan menikah dia masih berstatus pengangguran. Melihat Reza yang sekarang dia ragu bahwa suaminya itu akan mengizinkannya untuk kembali bekerja. Ketika Nesa melangkah keluar dari pusat perbelanjaan didapatinya senja sudah menghiasi langit. Sebelum pulang dia harus mampir dulu ke rumah orang tuanya.#######
Reza bukan hanya kesal. Dia marah besar. Sepulang dari peternakan dia melihat rumahnya lengang tanpa Nesa di sana. Siang tadi menerima pesan dari Nesa bahwa istrinya itu akan belanja dan pergi ke rumah orang tuanya. Reza sudah pergi ke sana untuk menjemputnya tetapi Nesa tidak berada di sana. Kemana sebenarnya istrinya itu pergi? Berulang kali dia menghubungi ponsel istrinya itu tetapi tidak tersambung. Bagaimana jika terjadi sesuatu pada Nesa? Tidak. Reza menolak pemikiran itu. Namun kecurigaan menyusup begitu saja dalam dirinya. Bagaimana jika sekali lagi Nesa meninggalkannya? Dan pikiran itulah yang menguasai otaknya.
Jam menunjukkan pukul delapan malam ketika pintu depan terbuka dan langkah kaki Nesa terdengar. Reza bergeming di ruang tengah dengan televisi yang menyala di hadapannya. Tanpa menyadari bahwa suaminya sedang sibuk dengan berbagai prasangka buruk, Nesa langsung duduk di sampingnya sembari meletakkan barang bawaannya di bawah sofa.
"Maaf, baru pulang. Belanjaku agak lama tadi."
Nesa meregangkan kakinya yang lelah. Ya Tuhan, dia benar-benar lelah sekali. Kedua kaki ya seolah protes untuk digunakan lagi. Ketika sampai di rumah orang tuanya tadi, Hilmi mengatakan bahwa Reza datang untuk menjemputnya. Dia sudah lama tidak berbelanja sehingga lupa waktu dan keasyikan sendiri waktu berada di pusat perbelanjaan. Layar televisi menampilkan iklan sabun mandi menggantikan pembaca berita yang baru saja melaporkan sebuab kecelakaan di jalan tol. Dahi Nesa mengernyit ketika dia memperhatikan tangan Reza yang begitu erat menggenggam remot TV. Barulah dia menyadari bahwa suaminya sedang menahan emosinya. Pantas saja jika tidak ada sahutan sama sekali dari suaminya sejak dia datang.Perlahan Nesa bangkit untuk mematikan televisi yang terabaikan. Dia adalah istri Reza, bahkan jika suaminya itu memperlakukannya dengan buruk sekalipun, Nesa memang mencintainya. Oleh karen itu, dia tidak akan membiarkan pernikahannya layu sebelum berkembang. Meskipun sebenarnya dia merasa sedikit gentar menghadapi amarah Reza.
"Mengapa tak menunggu sampai aku datang ke rumah ibu?"
Hening. Reza tetap tidak mengalihkan pandangan sedikit pun dari televisi yang sudah tidak menyala itu. Nesa meraih tangan Reza dan mengambil remot dari genggaman tangan laki-laki itu.
"Ponselku habis batere dan aku minta maaf karena keasyikan belanja."
Tak ada respon sedikit pun dari suaminya. Nesa memejamkan mata dan mengambil napas panjang.
"Kamu dengar? Aku minta maaf karena..."
"Ini terakhir kalinya kamu keluar sendiri," sela Reza sembari menarik tangannya lepas dari genggaman Nesa. Laki-laki itu kemudian beranjak meninggalkan Nesa.
Barulah lima menit kemudian Nesa bangkit setelah bisa menenangkan perasaannya sendiri. Dia pergi ke dapur dan meraih segelas air yang langsung diteguknya sampai habis. Sampai kapan Reza akan memperlakukannya seperti ini? Tiga tahun memang bukan waktu yang sebentar, tapi ternyata waktu telah merubah hati kekasihnya itu. Hari ini Nesa telah membuat Reza marah. Tidak perlu berpikir keras untuk mengetahui alasannya. Dia pergi. Tak peduli alasan apa pun, belanja atau pun pergi ke rumah orang tuanya sekali pun, hari ini dia pergi meninggalkan Reza. Dan itulah persisnya yang telah dilakukan Nesa tiga tahun lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Terperangkap
Romance"Kamu harus ada di sampingku, Nes. Itu harga yang harus kamu bayar karena meninggalkanku." Tiga tahun lalu, Nesa memutuskan pertunangannya dengan Reza demi mimpinya. Kali ini dia harus membayar keegoisan itu dalam ikatan pernikahan. Kekasih yang dul...