JARAK

218 11 1
                                    

Reza mengurung diri di kamar kerjanya. Menyandarkan tubuhnya di kursi dia menyadari bahwa jarak yang membentang di antara mereka kian lebar saja. Dan dia sendirilah yang membentangkan jarak itu. Kekhawatirannya berubah menjadi ketakutan saat Nesa belum juga pulang. Bahkan setelah dia menjemput istrinya di rumah orang tuanya. Bagaimana jika Nesa tidak bisa menerima pernikahan ini dan memutuskan untuk pergi? Nesa adalah wanita cerdas dan mandiri. Itulah yang menjadi awal ketertarikannya pada Nesa. Mereka bertemu lima tahun yang lalu pada saat menghadiri pernikahan temannya. Berbalut gaun berwarna biru dengan senyum yang mencerahkan hatinya, itulah awal pertemuan mereka.

Dia belum bisa memaafkan Nesa yang pergi darinya tiga tahun lalu. Istrinya yang cantik itu tidak tahu bagaimana rasanya ditinggalkan begitu saja di tengah hubungan yang pasti. Ketika Nesa kembali tanpa pernah menghubunginya sedikitpun, Reza ingin sekali menyakiti wanita itu. Tapi yang muncul dalam pikirannya justru ide pernikahan. Dia bahkan tidak perlu persetujuan Nesa. Namun saat ini pernikahan mereka tidaklah sesempurna idenya saat itu.

"Kamu sudah makan, Za?" Nesa sudah berada di sampingnya.
"Aku membawa sayur dari rumah ibu tadi."
Reza membuka pembukuan yang kebetulan ada di mejanya. Dia berpura-pura menekuni angka yang tertera di sana.
"Atau kamu mau kopi?"
Saat tak ada jawaban darinya, perlahan Nesa berjalan keluar dari ruangan itu.
"Tolong tutup pintunya." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya.

########

Esoknya, Nesa kedatangan tamu. Tiba-tiba saja Yessi sahabatnya semasa kuliah datang ke rumahnya. Hilmi yang tadi mengantarkan sahabatnya itu langsung pamit karena harus pergi ke kampus.
"Jahat, ya, kamu... Tanpa preambul apa pun tiba-tiba bilang kalau sudah menikah." kata sahabatnya itu setelah mereka menumpahkan rasa rindu.
Nesa tersenyum masam.
"Bagaimana mau bilang ke kamu kalau aku sendiri baru tahu sebulan sebelum pernikahan."
Yessi mengelilingi ruang tengah dan berdecak.
"Bahkan belum ada foto pernikahan kalian di rumah ini."
"Yes.... Aku sudah bilang kalau dia berubah."
Yessi berbalik, "Karena itulah aku datang. Aku ingin tahu semuanya, Nes. Apa yang membuat dia berubah."
Sejenak Nesa diam, kemudian meminum air dari grlas di depannya. Yessi kembali duduk di sampingnya.
"Kamu tahu bahwa aku mengembalikan cincinnya waktu itu," Nesa mulai bercerita, "melalui kurir. Aku tahu bahwa aku egois karena mementingkan keinginanku sendiri. Tapi kamu tahu sendiri bahwa kesempatan itu sudah di depan mata dan aku hanya tinggal menjalaninya. Keinginanku membuatku menyakiti Reza."
"Saat itu pernahkah terlintas dalam pikiranmu bahwa dia akan merelakanmu pergi begitu saja?" tanya Yessi.
"Aku takut berhadapan langsung dengannya. Maka aku memilih jalan pecundang seperti itu."
"Nesa, jika kamu berada dalam posisinya saat itu, kira-kira apa yang akan terjadi?"
Pertanyaan itu membuat Nesa terperangah. Apa yang terjadi jika tiga tahun yang lalu Reza yang pergi dan bukan dirinya? Dia akan hancur.
"Wajar kan jika dia marah?" suara Yessi kembali terdengar.
"Dia tidak berubah, Nesa. Dia hanya mengeluarkan amarahnya. Dan jika dia masih mau menikah denganmu setelah apa yang kamu lakukan padanya, bukankah itu berarti sesuatu?"
"Ya Tuhan, bahkan sampai saat ini pun aku masih egois." bisiknya.
Sahabatnya itu hanya mengelus punggungnya dalam pelukan.
Tiga tahun lalu dirinyalah yang bersikap egois dan hanya ingin dimengerti, bahkan sampai saat ini, dirinya hanya ingin dimengerti. Tuntutan sebesar itulah yang dia ajukan kepada suaminya yang malang itu.

Undangan berwarna merah itu datang tiga hari kemudian. Sahabat Reza semasa kuliah yang asli Bali akan menikah. Setelah menumpahkan sedikit bebannya pada Yessi, Nesa memutuskan akan memperlakukan suaminya itu dengan lebih baik. Rutinitas mereka memang masih sama. Bangun pagi di sisi suaminya, menikmati sarapan bersama, dan saat suaminya pergi bekerja Nesa mau nghabiskan waktunya untuk mengubah sedikit interior rumah mereka. Reza masih saja menjaga jarak dengannya. Suaminya itu hanya bicara seperlunya saja padanya.
Menyakitkan memang, menyadari sepenuhnya bahwa orang yang dicintai begitu dekat tetapi sekaligus begitu jauh. Terkadang Nesa ingin menceritakan apa yang sudah dilaluinya hari ini dan bersandar pada suaminya.
Nesa bahkan belum keluar dari rumah sejak insiden itu. Untunglah  rumah.
"Mbak Nesa, ambil makan siang." itu teriakan Anto, mandor peternakan Reza yang sering datang untuk mengambil kiriman makan siang. Suaminya itu bahkan tidak pulang dan makan di rumah. Tanpa beranjak dari depan televisi Nesa berteriak, "Ambil sendiri di meja bar, To!"
Rumah mereka jarang sekali menerima tamu. Jika Anto yang datang ke rumah, maka Nesa tidak lagi menganggapnya sebagai tamu. Dia sudah merasa hampir gila karena bosan terus berada di rumah. Tapi dia juga tidak berani meminta izin Reza untuk pergi keluar rumah. Untunglah, beberapa hari ini dua malaikat kecil sering datang bermain. Fafa dan Fifi, keponakan Reza yang dititipkan di rumah jika ibu mereka sedang pergi.

Undangan berwarna merah itu seperti tali penyelamat bagi Nesa. Acara pernikahan itu layaknya tiket berlibur setelah lelah bekerja.
"Made akan menikah," Nesa mengangsurkan undangan itu saat makan malam.
"Kapan?" tanya suaminya itu.
"Dua minggu lagi."
Nesa pernah sekali bertemu dengan Made saat dia masih bertunangan dengan Reza.
"Apakah kita akan pergi?" tanya Nesa sambil lalu seolah dia tidak peduli jika Reza tidak menghadiri acara itu.
"Tentu saja," jawab Reza sembari menutup undangan itu dan melanjutkan makan. Nesa menelan ludah, berusaha dengan keras menutupi kegembiraannya. Dengan sedikit ragu dia kembali bicara.
"Bisakah kita berangkat satu minggu sebelumnya?"
Reza berhenti menyendok nasinya untuk menatap istrinya.
"Liburan," buru-buru Nesa berkata, "sudah lama aku ingin pergi ke sana."
"Bukan untuk bulan madu, tapi untuk liburan?" Reza tersenyum menggoda.
Nesa balik tersenyum cerah, "Kamu dapat poinnya."

TerperangkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang