BADAI

144 7 0
                                    

Ternyata membutuhkan waktu satu minggu bagi Nesa untuk bisa mengungkapkan permasalahan itu kepada Reza. Butuh keberanian dan pemilihan waktu yang tepat baginya untuk bicara masalah pekerjaan pada suaminya itu. Dan malam ini Nesa mengumpulkan segenap keberaniannya dan memulai percakapan saat Reza bersantai menonton televisi.
Setelah Nesa membersihkan meja makan dari sisa makan malam mereka, dia menghampiri Reza dengan segelas kopi.
"Za, ada yang ingin kukakatakan," katanya mengawali.
"Katakan saja," jawab suaminya yang sibuk menonton pertandingan bola.
"Aku diminta ke sekolah," kata Nesa pelan.
"Untuk apa?"
Nesa mengambil napas panjang sebelum memberikan jawaban mantap, "Kembali bekerja."
Kali ini Reza langsung mengabaikan permainan bola yang sedang berlangsung di layar kaca.
"Dan aku berniat menerimanya."
"Kamu tetap di rumah," kata suaminya ketus, "Jangan pernah berpikiran keluar dari rumah ini."
Nesa menghembuskan napas dengan sabar.
"Aku butuh kesibukan, Za."
"Kesibukan?" kali ini nada suara Reza meninggi. "Jadi sudah berapa lama kamu berencana akan pergi?"
Nesa meraih tangan suaminya, "Za, aku tidak akan pergi. Aku hanya bekerja, keluar sebentar kemudian kembali lagi ke sini."
"Jangan membohongiku!" bantah Reza menepis tangan Nesa.
"Jangan bercanda denganku. Kamu bersikap egois jika menyangkut pekerjaanmu."
Hening. Keduanya menatap layar televisi dengan nanar.

Keheningan itu mengantar Nesa berdiri di depan foto pernikahan mereka. Foto berukuran besar itu tergantung di depan kamar tidur mereka. Bahkan Reza tidak peduli dengan keberadaan foto itu sampai Nesa menemukannya terabaikan begitu saja di kursi ruang kerja suaminya masih dan masih dalam keadaan terbungkus rapi. Nesa kembali mengingat keputusasaannya saat itu. Bagaimana dia berkutat dengan ponselnya, bertarung dengan batinnya sendiri untuk tidak menghubungi Reza. Dia terlalu takut untuk menghadapinya lewat telepon sekalipun.
"Apakah aku tawanan di sini, Za?"
Pertanyaan itu memecah kesunyian di antara mereka.
"Kamu pernah mengatakan bahwa aku harus selalu ada di sampingmu selamanya, harga yang harus kubayar karena meninggalkanmu waktu itu."
Reza bergeming. Suara gaduh pertandingan bola melatari keheningan itu.
"Dari awal kamu tahu bahwa itu adalah mimpiku, Za," Nesa melanjutkan. "Aku mencintaiku pekerjaanku, kamu juga tahu itu. Kali ini aku hanya keluar sebentar dan pasti kembali ke sisimu. Memangnya kemana lagi aku akan pergi?"
Kali ini Nesa berbalik menghadap Reza yang masih nanar memandang layar televisi.

Selang beberapa saat, laki-laki itu membuka suaranya.
"Kamu tidak tahu yang kurasakan saat itu," kata Reza sembari menatap lekat wajah istrinya.
"Bagaimana bisa kamu lebih memilih pergi daripada menikah denganku?"
Nesa menggeleng akan menyanggah, tetapi Reza melanjutkan.
"Bagiku kamu terlihat seperti melarikan diri dari rencana kita. Dan butuh satu tahun bagiku untuk bisa menarik kembali akal sehatku."
Nesa menangis mendengar pengakuan itu.

"Saat aku bisa menemui orang tuamu untuk bisa menjelaskan situasinya, apa yang kudapat?"
Nesa mendengar suara Reza yang gemetar di sana.
"Orang tuamu berterima kasih padaku karena bersedia menunggumu kembali. Jadi aku berbohong bahwa kita saling bicara lewat telepon dan mengatakan kita akan menikah segera setelah kamu kembali."

Air mata Nesa semakin deras mendengar cerita Reza. Rasa bersalah itu seolah menekan hatinya dan membuat dadanya sesak. Sikap impulsifnya bukan hanya melukai satu orang, dia bahkan melukai orang tuanya sendiri.

"Berapa kali kamu mengabaikan teleponku, Nes? Semua itu karena pekerjaanmu."

Setelah sanggup bicara, Nesa berkata pelan. "Kamu juga tidak tahu bagaimana rasanya bagiku."

Kali ini Reza menatapnya garang. "Tidak! Aku tidak ingin tahu apa yang kamu rasakan karena itulah keputusanmu. Itu sudah membuktikan betapa egoisnya kamu."

"Jadi kamu menghukumku dalam pernikahan ini, kan?" tanya Nesa.

Reza melompat berdiri dan meradang, "Kamu adalah istriku!"
Kemudian laki-laki itu beranjak meninggalkan Nesa yang terduduk lesu.
Nesa mendengar pintu kamar kerja Reza terbanting. Laki-laki itu selalu melarikan diri dalam ruangan itu.

##############

Nesa terbangun keesokan paginya dan menyadari bahwa Reza tidak kembali ke kamar mereka. Meskipun dia mengerti alasannya, tetap saja air mata kembali menyeruak dari sudut matanya. Tapi dia segera menghapus air mata itu dan kembali bertekad untuk membuat pernikahan ini berhasil.
Cinta mereka layak diperjuangkan kembali. Karena itulah dia ingin membuat Reza menerimanya seperti dulu.

Nesa menyiapkan kopi saja pagi itu. Sebab dia tak yakin mereka berdua siap untuk memulai hari dengan sarapan seperti biasanya.
Saat Reza duduk di meja makan, tanpa sadar Nesa berpaling dan berpura-pura sibuk dengan kompornya.
"Aku akan mengantarmu ke rumah orang tuamu," kalimat itu memekakkan telinga Nesa.
Seketika dia berbalik menatap suaminya bingung.
"Apa maksudmu?"
"Kita perlu berpikir. Aku perlu sendiri dan kau perlu membuat pilihanmu."

Nesa masih menatap wajah suaminya dengan bingung.
"Apa pun pilihanmu nantinya, aku akan menerima keputusanmu," kata Reza.

"Aku tidak mengerti," Nesa menggeleng lemah.

"Kau bebas."

TerperangkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang