PERNYATAAN

177 6 0
                                    

Mereka berdua duduk berhadapan di ruang makan yang sudah sekian lama tak pernah digunakan lagi sejak Nesa pulang ke rumah orang tuanya. Meja yang memisahkan mereka hanya berisi dua cangkir kopi yang masih mengepul. Reza langsung pulang setelah menutup telepon. Di dalam hati dia merasakan rasa antusias yang menggelitik wajahnya hingga ingin selalu tersenyum saat istrinya memintanya untuk segera pulang. Maka dia langsung kembali ke rumah setelah komunikasi mereka usai.

Jika saja situasinya tidak serius, Nesa sangat ingin tertawa melihat tingkah mereka. Benar-benar situasi yang menggelikan. Nesa menelusuri bibir cangkir dengan telunjuknya.
"Maaf, memintamu pulang begitu saja," akhirnya Nesa membuka percakapan.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?"
Reza selalu saja melemparkan pertanyaan secara lugas, pikirnya.
"Terima kasih sudah merawatku," jawab Nesa cepat.
Suaminya hanya mengangguk. Laki-laki itu mengangkat cangkirnya dan menyesap kopi di dalamnya.
"Bagaimana kopinya?"
"Enak."
"Kau selalu suka kopi hitam kental."
"Apakah kita hanya akan duduk di sini dan membicarakan kopi hitam?"
Buru-buru Nesa menggeleng.
"Tidak," sangkalnya. Nesa juga menyesap sedikit kopinya. Berharap kafein dapat membuatnya sedikit lebih berani.
"Kau tahu bahwa aku tidak pernah suka hujan, kan?"
Nesa mulai membuka topik pembicaraan tentang hubungan mereka.

Reza memandang istrinya. Benar bahwa Nesa tidak pernah suka dengan musim hujan. Cuacanya yang suram dan air yang siap membasahi apa saja yang dilaluinya.
"Lalu apa yang membuatmu nekat menerobos hujan kemarin?"
Pandangan wanita itu begitu tajam dan jelas. Ada kekuatan dalam bola mata berwarna cokelat gelap itu.

"Kita," jawab wanita itu. "Aku bukannya membenci pernikahan ini, Za. Tapi aku benci dengan hubungan kita yang kekanak-kanakan."
Dengan penuh perhatian Nesa melihat Reza membuang pandang ke arah cangkir kopinya.
"Aku ingin lelakiku kembali," bisik Nesa mengakhiri percakapan.

Reza tersentak dan kembali memandang Nesa. "Kamu masih menginginkanku setelah apa yang kulakukan padamu?"

Nesa mengangguk. "Aku merindukan dia yang selalu menyayangiku," jawab Nesa. "Aku tahu bahwa meninggalkan hubungan kita waktu itu adalah sebuah kesalahan yang mungkin tidak bisa kau maafkan begitu saja, tapi aku tidak bisa mengingkari kenyataan bahwa dia masih mau menerimaku meski dalam ikatan yang janggal."

Reza beranjak dari tempat duduknya yang dirasa sangat jauh dari jangkauan wanita itu. Dia berlutut di hadapan wanita itu. Dengan lembut membelai pipinya yang sedikit tirus karena sakit dan pikiran kacau.
"Aku tidak akan mudah melepasmu begitu saja, kamu tahu itu kan?"

Nesa memejamkan mata dan menangis. "Aku tahu. Dan aku tidak akan pergi begitu saja meskipun kamu menginginkanku pergi."

Reza memeluk istrinya erat. Ikatan mereka ternyata lebih kuat daripada keegoisan dan kekeraskepalaan yang selalu mereka perlihatkan.

"Kamu boleh menerima pekerjaan apa pun yang kamu inginkan." Bisik laki-laki kepada istrinya.
Nesa menggeleng dalam pelukan suaminya. Dia mendongak dan menangkup wajah suaminya.
"Aku hanya butuh kamu. Itu saja sudah cukup."

Tersenyum Reza mengangkat tubuh Nesa dengan mudah. "Tapi entah kenapa aku menginginkan suara tawa kecil di rumah ini," katanya sembari mengedipkan mata dan bergegas masuk ke dalam kamar mereka. Suara tawa Nesa berderai riang mendengar kalimat suaminya.

TerperangkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang