KOMA

157 5 0
                                    

Nesa hanya memandang Reza, mulutnya tak bisa mengeluarkan satu huruf pun setelah mendengar ucapan suaminya. Perlahan otaknya yang terlalu lambat mencerna kalimat itu mulai bekerja. Kesadaran itu menghantamnya sehingga dia merasakan kedua lututnya seolah menyerah. Dengan gontai dia duduk di kursi lain yang ada di ruangan itu.

"Aku rasa itu yang terbaik saat ini, Nes."

Nesa memandang laki-laki itu. "Apakah benar begitu?" bisiknya parau setelah bisa mengeluarkan suara.

"Kita bisa saling berpikir sejenak mengenai pernikahan ini," Reza mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Besok pagi kuantar kau pulang."

Nesa kembali ke kamar mereka. Tak sanggup berjalan lebih jauh, dia terjatuh tepat setelah pintu tertutup. Kali ini tubuhnya terguncang keras akibat isakan yang tak bisa dibendung lagi.
Dia mengeluarkan semua emosi dan keputusasaannya.
Semangatnya untuk membuat pernikahan ini berhasil menguap begitu saja. Saat ini dia merasa kalah dan tak sanggup berdiri. Maka jalan satu-satunya hanyalah bergelung di lantai kamar mereka dan menangis di sana. Dinginnya lantai berkeramik putih itu tak lagi dirasakannya. Tubuhnya terasa kebas sebab semua rasa dingin dan sakit berpusat di hatinya.

Setelah tangis itu mereda, Nesa telentang dan memandang langit-langit kamar. Dengan air mata yang masih merembes keluar dari sudut matanya, dia memaksa diri untuk bangkit dan mengambil sebuah tas bepergian kecil dari atas lemari. Perlahan dia memasukkan barang-barang pribadinya di sana. Make up, beberapa potong baju dan celana, serta beberapa perlengkapan lain. Jika memang jeda yang dibutuhkan Reza berupa perpisahan, maka Nesa akan mengambil kesempatan itu. Dia juga perlu memikirkan cara untuk bisa meyakinkan suaminya bahwa dia mencintai laki-laki itu.

############

Memberi koma pada hubungan sebelum benar-benar memutuskan akhirnya mungkin lebih baik. Reza langsung mengantarkan Nesa kembali ke rumah orang tuanya setelah istrinya bersiap. Keheningan dalam perjalanan itu pun tetap bertahan hingga mereka sampai ke rumah orang tua Nesa.

Sore itu, Nesa duduk melipat kedua lutut di beranda lantai dua, tepat di luar kamarnya. Senja sore itu benar-benar luar biasa. Gradasi warna kuning keemasan sampai merah tersapu di langit barat dengan sempurna. Dan Nesa hanya memandang lukisan itu tanpa ingin berpikir sama sekali.

Ibunya datang dan duduk di sampingnya.

"Kami memutuskan untuk berpisah sementara, Bu," kata Nesa tanpa mau mandang wajah ibunya.
"Mimpiku... Ibu tahu bagaimana bangganya aku dengan mimpiku. Tidak mudah mewujudkan mimpi itu, dan aku tidak bisa melepasnya begitu saja."

"Apa yang dikatakan suamimu?"

"Dia tidak mengizinkanku melanjutkan mimpi itu."

Kali ini Nesa memandang ibunya dan membiarkan air mata mengaliri kedua pipinya.
"Aku tahu bahwa kepergianku waktu itu salah. Bahwa keegoisanku menyakitinya. Tapi..."
Nesa terisak saat mengingat rasa sakit itu. Saat Reza memintanya untuk berpisah.
Perlahan ibu beranjak dan memeluk putrinya itu.

"Suamimu adalah pemimpin dan pelindung. Selama ini dia sudah menjadi pelindung yang baik bagi keluarga kita. Dan Ibu yakin, dia juga melindungimu dengan sepenuh hati."

Ibu mengelus lembut rambut Nesa sebelum melepas pelukannya dan menangkup wajah Nesa.

"Kamu adalah wanita yang kuat, Nes. Ibu tahu itu. Sekalipun kamu tidak pernah mengeluh kepada kami, kamu selalu bisa memutuskan sendiri jalan yang harus kamu lalui."

Nesa memandang wajah teduh ibunya.

"Istirahatlah, Nak. Kalian hanya butuh meluruskan masalah ini. Suamimu pasti akan mengerti."

############

Made melambaikan tangan saat Reza melalui pintu masuk kedai kopi yang mereka sepakati. Sahabatnya itu datang dari Bali karena urusan pekerjaan.
"Wah, tempat ini sudah banyak berubah sejak kita kuliah dulu," kata Made dengan semangat. Reza langsung menyambar bungkus rokok dan pemantik yang ada di atas meja bahkan sebelum dia duduk.
Made mendengus, "Ternyata rokok itu lebih menarik daripada keberadaanku."
Reza memandang sahabatnya itu sembari menyulut ujung rokok.
"Kau datang pada saat yang tepat."
Melihat wajah serius Reza, Made tahu bahwa sahabatnya pasti memiliki masalah.
"Apa yang terjadi? Terakhir aku melihatmu stres begini saat dosen memintamu mengganti materi skripsi."
"Dan ternyata persoalan itu jauh lebih mudah daripada saat ini," sahut Reza sembari menghela napas berat.
"Wah, pelajaran hidupmu benar-benar hebat, Kawan." Made mencoba berkelakar.
Reza hanya mendengus.

"Apa yang terjadi?" kali ini Made serius.
Mereka berhenti sejenak saat pramusaji datang membawakan pesanan mereka.
"Dia kembali ke rumah orang tuanya."
Made hampir saja menyemburkan kopi yang baru sedetik masuk mulutnya. Masalah ini benar-benar serius. Jika 'dia' yang dimaksud Reza adalah istrinya, maka persoalan itu bukanlah persoalan mudah sama sekali.
"Tadi pagi aku mengantarnya ke sana," lanjut Reza.
Hening.
Made bahkan tidak bisa menanggapi cerita singkat dari sahabatnya itu.

"Pernahkah kau mengutarakan perasaanmu sebenarnya? Memperlihatkan perasaanmu sedikit saja pada Nesa?" Made bertanya.
"Ini memang terdengar klise. Tapi wanita memang makhluk kontradiktif yang pernah ada. Mereka selalu butuh kepastian, kata-kata dan tindakan sangat penting untuk kenyamanan batin mereka. Nesa juga seperti itu, Bro. Kau yang paling mengenal wanitamu, gapai hatinya, dan pikirkan keinginannya. Sederhana bukan?"

TerperangkapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang