06

3.7K 197 3
                                    

Darrel tersenyum dalam diam melihat hasil ulangan fisika yang baru saja dibagikan oleh salah satu temannya.

"Nilai lo berapa?" Victor yang semula meratapi nilainya yang tidak pernah lulus akhirnya mengalihkan pandangannya menuju Darrel.

Darrel menunjukan kertas ulangannya dan seketika mata hazel Victor membulat lebar.

"Gila! Sembilan tujuh! Lo pake jampi-jampi?!" Darrel menatap tajam Victor saat hampir semua murid di kelas menatap ke arah mereka.

"Lo dapet sembilan tujuh?" Alan yang yang mendengar teriakan Victor langsung menuju ke meja Darrel.

"Hm," jawab Darrel sebelum akhirnya memasukan kertas ulangannya ke dalam tas hitamnya.

"Siang semua," guru dengan perut buncit itu berjalan memasuki kelas menuju meja guru.

"Siang," jawab semua murid kecuali Darrel.

"Ulangan sudah dibagikan, dan hasil tertinggi diraih oleh Darrel," ucapnya sambil melirik ke arah Darrel.

"Gila!"
"Yakin?"
"Gila si Darrel"
"Nilainya berapa pak?"

Para murid menatap Darrel tak percaya. Wajar, Darrel selalu mendapat nilai di bawah nilai ketentuan sekarang mendapatkan nilai paling tinggi sekelas. Rizal- murid paling pintar- saja kalah.

"Nilainya bisa kalian tanya pada Darrel," guru itu kemudian membuka buku tebal fisika dan memulai pelajaran.

***

"Nilai lo berapa?" Vera merebut kertas ulangan yang sedang Bea baca.

"Kalah mulu gue," ucap Vera seraya mengembalikan kertasnya kepada Bella.

Bea tersenyum simpul lalu menatap kesal kertasnya. Sembilan puluh untuk ulangan fisika, bukanlah hal yang Bea inginkan. Perempuan berambut hitam itu mengharapkan salah satu atau dua atau bahkan benar semua, sekarang ia malah mendalatkan salah empat. Rasanya, Bea hampir kehilangan moodnya.

***

Bea menyandarkan dirinya di tembok samping kelas Darrel--menunggu Darrel keluar dari kelas atau datang dari luar kelas. Sambil memunggu sesekali memainkan ponselnya, memeriksa beberapa notifikasi yang belum sempat ia buka.

Hell-ya! Satu notifikasi dari semalam belum ia buka. Perempuan dengan cepat menghubungi orang yang pesannya belum ia buka dari semalam.

"Hallo, Dam," sapa Bea setelah panggilannya berhasil tersambung.

"Gimana ngajarin Darrelnya? Sampai pacar sendiri dilupain," ucap Damian tajam tanpa membalas sapaan Bea, dengan menenakan kata 'pacar' di dalam ucapannya.

Hati Bea melongos mendengar perkataan Damian. Ia tahu betul, bahwa Damian akan marah bahkan sedang marah. Damian bukanlah orang yang suka didiamkan.

"Maaf Dam," sekuat tenaga Bea mencoba agar tangisnya tidak keluar. Apapun yang berkaitan dengan membuat orang yang ia sayangi marah atau kecewa, Bea akan merasa bahwa dirinya sangat bersalah.

"Gue sibuk Be. Bye."

Dan, sambungan dimatikan sepihak oleh Damian.

Bea menggenggam erat ponsel yang masih berposisi di sebelah telinganya. Bea merasakan rasa bersalah yang amat sangat. Apalagi saat mendengar kata 'gue' yang keluar dari mulut Damian. Cairan bening mengumpul di pelupuk matanya. Katakanlah Bea cengeng, tapi Bea memang mempuanyai kepribadian yang cengeng jika sudah berkaitan dengan orang yang ia sayangi.

"Mau sampai kapan lo berdiri di situ?" suara khas lelaki membuat Bea mengerjapkan matanya beberapa kali untuk menghilangkan air mata yang sempat mengumpul.

My Cold BadboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang