12

3.2K 203 15
                                    

Dua hari sesudah kejadian Bea menjenguk mama Darrel yang berakhir dengan dirinya diusir dengan cara yang tidak halus, membuat Bea-perempuan berkuncir satu itu-memikirkan tentang apa yang salah dengan dirinya saat itu hingga membuat Darrel mengusirnya dengan kata-kata tajamnya.

Seperti sekarang, perempuan itu memainkan pulpen yang berada di tangan kanannya. Sambil menyadarkan dirinya pada dinding kelas yang berwarna putih, matanya menatap ke arah guru yang sedang menunjuk-nunjuk papan tulis yang sudah penuh dengan rumus-rumus matematika.

Matanya memang melihat ke arah guru gendut yang sudah tua itu, tapi kenyataannya alam pikir Bea tidak sesuai dengan matanya. Perempuan itu sedang menjelajahi alam pikirannya sendiri. Ia menundukan kepalanya dan menghembuskan napas pelan.

Alis perempuan menekuk menatap tangannya yang masih memainkan pulpennya. Jika diingat-ingat, yang harusnya marah kan Bea bukan Darrel, tapi kenapa malah lelaki dengan kadar ketampanan yang melebihi batas wajar itu malah yang marah-bahkan sampai mengusirnya.

Lagi, Bea mencoba berpikir. Apa dia melakukan kesalahan? Apa pukulannya terlalu sakit waktu itu? Tapi rasanya mustahil jika hanya sebuah pukulan. Oh, cubitannya kah? Hmm, masa hanya karena sebuah cubitan kecil Darrel jadi marah padanya, lelaki itu pasti pernah mendapatkan sesuatu yang lebih parah dari itu. Tonjokan berkali-kali pada mukanya, mungkin?

Mengalihkan pikirannya, Bea berpikir betapa kasihannya wanita yang tertidur di ranjang rumah sakit-wanita yang tak lain adalah mama Darrel sendiri- dengan banyak alat rumah sakit di badannya.

Oke! Mungkin itu!

Bea menganggukan kepalanya dna tersenyum samar. Ia akan meminta maaf padanya nanti saat istirahat.

***

Darrel berjalan santai dengan wajah dingin miliknya, mengabaikan ocehan dua orang di sampingnya. Lelaki itu memandangi meja kantin yang- hampir- tidak ada yang tidak terisi, kecuali satu meja yang terletak di tengah kantin.

Para murid melirik sekilas ke arah meja itu kemudian berjalan pergi dengan kecewa. Oh ayolah, semua orang tahu jika meja itu khusus untuk Darrel, Victor, dan Alan. Duduk di meja itu sama dengan mencari masalah dengan mereka, Darrel lebih tepatnya.

"Darlel," panggil Victor dengan aksen luarnya yang sedikit terdengar, Alan terkekeh tanpa sengaja.

"Darrel, Vic. Bukan Darlel," ledek Alan dan terkekeh setelahnya, Victor melirik Alan sekilas kemudian mendengus kencang.

Lelaki berparaskan bule itu kemudian berjalan menuju 'meja spesial' menjauhi Alan yang terkekeh dan Darrel dengan wajah datarnya.

"Ngambek dia," kekeh Alan lagi.

"Kalo kalian berantem lagi gue gak mau bantu," ucap Darrel final dan segera berjalan menyusul Victor yang sudah duduk di meja itu.

"Lah gue ditinggal,"

Alan tetap berjalan dengan cengirannya menghiraukan Victor yang menatapnya tajam. Alan mendudukan dirinya di samping Victor yang disambut dengan cibiran dari Victor.

Darrel menggelengkan kepalanya melihat kedua sahabatnya yang tak pernah akur. Ribut terus jika ada kesempatan. Yang membuatnya heran adalah, Victor tidak segan-segan memberi pelajaran untuk orang yang menggangu Alan, begitupun sebaliknya.

"Kalian akur bentar bisa gak." Rupanya ucapan Darrel berhasil menghentikan urusan mereka yang semakin lama semakin menjauh dari permasalahan awal.

"Sipit du-"

"Darrel," panggilan seorang perempuan berhasil memotong ucapan Victor-yang niatnya mengadu oada Darrel- tanpa sengaja.

Darrel mendongak menatap perempuan yang terlihat menunduk ragu... terkesan takut. Lelaki itu menahan senyum ketika melihat Bea-perempuan itu- Berekspresi seperti itu.

My Cold BadboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang