Bagian 11

9K 427 1
                                    

Satu kata yang paling tepat untuk menggambarkan suasana lapangan basket sekolahku siang ini. Riuh. Pertandingan basket antara tim sekolahku melawan tim dari SMA Pelita akan dimulai lima menit lagi. Timku sekarang berada di pinggir lapangan, sedang mendengarkan arahan serius dari Pak Idi.

"Main pake taktik, jangan pake emosi."

Kak Aldo juga ada di sini bersama beberapa temannya, memberikan sedikit wejangan pada kami.

Wasit sudah meniup peluitnya. Menandakan kedua tim harus memasuki area lapangan.

Kak Aldo menghampiriku saat hendak berjalan ke lapangan. "Semangat!" katanya.

Aku mengangguk sambil tersenyum.

Priiiit ...!

Pertandingan pun dimulai. Kami menjalankan strategi yang diajarkan Pak Idi saat latihan. Awal permainan memang didominasi oleh tim lawan, meski tak sampai memasukkan bola ke dalam ring. Namun, sekarang saatnya tim kami bergerak. Bola di-dribble oleh Ratna, diopernya ke Hana, Hana mengoper ke Intan, dan ketika tepat di depan ring lawan, Intan mengoper padaku dan... SHOOT!

"WOOO!!!" Semua siswa yang menonton pertandingan ini berteriak heboh.

"Keren!" Hana bertos padaku.

Pertandingan yang berlangsung selama 4×10 menit akhirnya dimenangkan oleh tim kami. Dengan skor beda dua poin. Horee! Senangnya!

Semuanya tampak sangat kelelahan dengan peluh membanjiri seluruh tubuh, begitu pun denganku. Kami semua tengah beristirahat di pinggir lapangan. Lapangan sudah sepi. Semua penonton dan tim lawan pun sudah pergi satu per satu dari tadi.

"Nih, minum." Kak Aldo tiba-tiba sudah duduk di sampingku dan menyerahkan minuman dingin rasa strawberry, rasa kesukaanku.

"Makasih, Kak." Aku tersenyum dan langsung menegak habis minumannya.

"Selamat udah menangin pertandingan ini." Kak Aldo mengulurkan tangannya padaku.

Aku tersenyum, membalas jabatan tangannya. "Makasih, Kak. Ini berkat bantuan Kakak juga."

"Mau pulang bareng?"

"Enggak, Kak, makasih. Aku pulang sama Rian," tolakku yang dibalas anggukan oleh Kak Aldo.

Sebenarnya itu hanya alasanku saja. Aku sudah berpikir keras semalaman tentang ini. Setelah pertandingan selesai, aku akan mulai menjauh dari Kak Aldo. Bukan. Bukan karena aku benci kepadanya. Melainkan ini satu-satunya cara agar aku bisa melupakan perasaanku padanya, dengan tidak melihat dan berhubungan lewat chat lagi dengannya.

Berat memang. Tapi ini jalan terbaik bagiku dan Kak Aldo.

***

Menunggu itu tak enak, lebih-lebih menunggu yang tidak pasti. Aku berdiri di depan gerbang sekolah dengan terik matahari yang menyengat. Padahal sudah jam dua siang, tapi Rian belum juga datang.

"Lama! Ke mana dulu, sih? Udah tiga puluh menit nih Kakak nungguin kamu!" omelku pada Rian yang baru saja sampai.

"Bawel. Tadi kejebak macet, Kak." Rian menyerahkan helm padaku. Aku segara mengambil dan memakainya.

"Ke kafe dulu, ya," ucapku saat sudah duduk di atas motor Rian.

"Tapi traktir, ya?"

"Iya, bawel."

Rian melajukan motornya membelah jalanan. Angin sepoi-sepoi membelai rambutku. Sejenak kupejamkan mata, merasakan embusan angin yang membuatku sedikit nyaman. Namun, sekelebat bayangan Kak Aldo tiba-tiba datang. Pepatah bilang, bila kau mencintainya dengan tulus, pejamkan matamu, lalu rasakan, apakah bayangnya muncul pada gelap penglihatanmu? Dan kurasa itu sudah cukup menjadi bukti bagaimana perasaanku pada Kak Aldo.

Truth or Dare (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang