triangle page 2

78 2 0
                                    

Tatapan kosongnya menembus kaca yang setengah terbuka. Angin yang menyusup membelai lembut rambutnya.

"Tim aku menyukaimu" bisikan itu sehalus angin yang menyapanya lembut. Singkat dan begitu lirih. Hingga dia tak mengerti apa itu nyata, atau hanya imajinasi.

Tubuh mungilnya masih mematung disana. Di ruangan minimalis dengan cat abu-abu yang pernah dia datangi sebelumnya.

"Tim, lu belum makan kan?" Suara serak itu membawa Tim kembali ke dunia nyata

Dia menoleh. Wajahnya kembali datar tanpa ekspresi. Tapi berbeda dengan sebelumnya, kali ini dia cenderung terlihat cemas dan bingung.

"Ada apa?" Mattew kembali bertanya. Nampan di tangannya dia letakkan diatas meja

"Enggakpapa. Cuma perasaan gw nggak nyaman banget!" Suaranya lirih. Tangan kanannya menyentuh tepat diatas jantung. Merasakan detak jantungnya pelan. Hampir tak terdengar.

"Lu cuma belum terbiasa aja. Sini makan dulu!" Mattew begitu hangat. Seperti pangeran dalam cerita dongeng anak-anak. Jika benar dia pangeran, lalu apa Tim adalah putrinya?

Tim hanya mengangguk. Tangannya menyuap makanan tak bersemangat. Semacam kehilangan selera.

"Ini siapa?" Tangan mungilnya menyentuh sebuah foto yang terpajang di dinding. Foto seorang wanita cantik dengan gaun pengantin. Tunggu! seperti bekas sobekan.

"Itu foto mendiang nyokap gw"

"Kok kaya...."

"Iya itu foto pernikahan nyokap sama manusia biadap itu. Gw sobek karena gw nggak suka sama dia"

Seakan tak ingin mengorek luka Mattew semakin dalam, Tim terdiam. Tapi tidak dengan Mattew. Baginya gadis itu semacam buku diary, Tim membuatnya nyaman untuk menceritakan sepenggal kisah kelam kehidupannya.

"Dulu gw nggak bisa liat Makhluk kaya lu, sampai gw nemuin buku ini" Mattew menunjukan buku besar itu pada Tim

"Disini ada banyak hal ajaib yang bisa lu pelajarin. Salah satunya ngeliat makhluk astral. Gw berharap bisa ketemu sama nyokap dengan kemampuan ini, tapi dia nggak pernah muncul sekalipun. Gw pengen tanya kenapa dia ninggalin gw sama orang yang paling gw benci!" Nadanya terombang-ambing. Antara marah, kesal dan kecewa.

"Kenapa? Lu nyesel?" Hanya kalimat itu yang terlintas di benak Tim

"Enggak sama sekali. Gw seneng karna akhirnya gw bisa ketemu lu!" Seulas senyum lesu mengembang di wajahnya

Tim membalasnya "gw nggak bisa janji bakal selalu ada buat lu. Tapi gw janji bakal mbantu sebisa gw!"

"Makasih, gw seneng lu disini"

Gadis mungil itu berdiri disana. Pandangannya dipenuhi hamparan rumah-rumah yang terlihat kecil dari atas. Gaun putihnya menari di tiup angin. Langit hitam kosong menjadi atapnya.

"Tim!" Suara seseorang memanggilnya dari belakang

Dadanya bergetar. Berharap seseorang yang dinantikannya. Wajahnya menoleh, membuat rahang mungilnya terbentuk jelas.

"Mattew!" Ucapannya lirih penuh rasa kecewa. Suara nafasnya pelan agak tertahan. Tapi senyum mengembang jelas disana

"Iya ini gw. Kenapa?" Suara pria itu begitu pelan

Tim hanya menggeleng lemas. Senyum masih terpatri di sana. Menyembunyikan kecemasan dan rasa kecewa

"Lu seneng disini? Ini tempat favorit gw"

"Iya gw seneng tapi," ucapannya terhenti

"Kenapa?"

"Gw khawatir sama Mark" ucapan yang jelas membuat Mattew perih. Mungkin hampir sama seperti luka basah yang di taburi garam

Mattew tersenyum getir " lu mau gw anter ketemu Mark?" Nadanya sedikit bergetar. Matanya menyimpan seribu duka. Dan hatinya tak henti mengumpat tak percaya.

"Apa boleh?" Tim ragu. Tapi matanya penuh harap

Mattew hanya mengangguk singkat. Seakan udara malam telah mencuri setiap nadanya. Membuatnya hanya terdiam tak mampu bersuara.

Mattew menggenggam tangan Tim yang terasa dingin. Langkahnya menyamai langkah  kecil gadis disampingnya. Seperti pantomim. Mereka hanya bergerak, tanpa kata ataupun suara.

Rooftop itu menjadi latar kisah cinta Mattew yang pahit. Rasanya tak lagi dia perdulikan. Dia sadar posisinya bukan sebagai prioritas. Mungkin memang hanya Mark yang mampu membuat Tim bahagia.

Kunci motor dan jaket telah ada di genggamannya. Motor sport ungu pun sudah ada di depan mata. Sekarang mereka siap berangkat.

Motor itu di kendarai Mattew pelan. Hanya 40 sampai 60 Km/jam saja. Tak seperti biasanya. Tim tak mau protes. Sadar mood mereka sama-sama buruk. Tapi setidaknya, Mattew bisa mengulur waktu agar lebih lama bersama gadis yang dia sukai.

Motor itu melaju di jalan yang sepi. Maklum, mereka masuk ke kawasan perumahan elit. Tepat di jalan yang membawa mereka langsung ke depan Rumah Mark.

"Stop!" Suara Tim mengagetkan pria di depannya

Mattew menurut, langsung menghentikan laju motornya.

"Ada apa?" Pria itu menengok. Memastikan Tim baik-baik saja

"Itu!" Tangan Tim menunjuk ke gerbang rumah Mark

Seorang wanita baru keluar dari sana. Tangannya menggenggam sebuah koper erat. Wajahnya terlihat sedih dan agak basah. Mungkin karna air mata. Tak lama, dia masuk ke dalam taksi yang telah menunggu disana. Hanya beberapa saat, lalu taksi itu pergi dan menghilang di pertigaan jalan.

"Tadi siapa?" Tanya gadis itu ragu. Dahinya mengernyit kebingungan.

"Mungkin nyokapnya Mark!" Mattew ragu, tapi nadanya begitu pasti

"Kok gw nggak pernah liat?"

"Gw nggak yakin. Tapi setau gw keluarga Mark emang bermasalah"

"Lu tau dari mana?"

"Beberapa bulan yang lalu gw main disana. Dan nggak sengaja gw denger pertengkaran orang tua Mark. Mungkin udah lama. Sampe Mark keliatan udah terbiasa"

"Lu nggak coba tanya?"

"Udah. Tapi jawabannya selalu sama. 'Nggakpapa, udah biasa'"

Tim hanya terdiam. Otaknya berusaha mencerna isi percakapan mereka. Dia tak menyangka, sosok hangat Mark menyembunyikan luka. Tidak, lebih tepatnya dia menerima.

"Lu pulang aja. Gw mau masuk sendiri!" Ucapan Tim jelas. Tak memperdulikan Mattew disana.

"Iya gw paham. Gw pulang sekarang" matanya sayu menatap Tim lembut. Berharap gadis itu dapat membaca perasaannya. Tapi tidak, Tim bukan paranormal.

Hanya sekejap, gadis itu menghilang. Mattew harus menelan kekecewaan. Perasaannya tak lagi berguna. Andai saja Tim punya rasa yang sama. Mungkin tak sesakit ini jadinya.

Gelap menyelimuti ruangan yang cukup luas itu. Hanya lampu meja yang menyala redup di samping tempat tidur. Tubuh seorang pria terlihat tergeletak disana. Tepat di sisi tempat tidurnya. Wajahnya begitu lesu tanpa ekspresi.

Aku tau dia tampan walau dalam keadaan tidur sekalipun. Tapi bukan itu yang menjadi fokusnya. Bulir air tertahan di sudut matanya. Kelopak mata yang tertutup menjadi pembatas antara dunia nyata dan mimpi pria disana.

"Gw lega dia bisa tidur!" Tim menatap raut wajah itu lekat. Tak mengerti bagaimana Mark menjadi sekuat ini.

Wajah Mark yang masih tertidur mendadak berubah. Dahinya berkerut dan badanya bergetar. Nafasnyapun tak teratur. Hanya satu yang terpikir oleh Tim saat itu. Meggenggam tangan dingin Mark.

Dia duduk di tepi tempat tidur. Tangannya dia biarkam digenggam Mark erat. Begitu dekat, hingga gadis itu dapat mendengar suara nafas pria di depannya.

Gw nggak paham, ini rasa apa? Gw sakit liat lu luka. Gw sedih liat lu berhenti ketawa. Apa ini? Apa? Kenapa rasanya begitu menyiksa?

Kristal bening itu meluncur jelas dari manik hitam Tim. Dadanya sesak dengan pertanyaan yang tak dapat dijawabnya sendiri. Sejenak, pipinya terasa hangat. Sesuatu yang lembut membelai halus wajahnya. Tangan Mark. Tim memandang pria itu yang masih setengah terpejam. Sebelah tangannya menutup mata Mark rapat. Hanya sebentar, sampai bayangan gadis itu menghilang.

For the First Kiss Forever (Completed) #wattys2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang