Baru kali ini aku dipeluk oleh seorang laki-laki selain Ayah dan Rian. Dan lebih parahnya, aku tak mengenal sama sekali laki-laki ini. Selama berada di pelukannya, pikiranku kosong, seperti orang linglung, mungkin efek dipeluk tiba-tiba. Detik ke lima belas, mungkin, baru aku tersadar sepenuhnya akan situasi ini. Aku melepas dengan kasar pelukannya.
"Eh, apaan, sih!" Aku menatapnya tajam. Laki-laki ini hanya berdeham singkat, sambil kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.
"Lo nggak punya sopan santun, ya? Main peluk-peluk orang sembarangan!" omelku.
Laki-laki ini tersenyum sinis padaku. "Lo juga sama. Nggak punya sopan santun. Main nembak-nembak orang sembarangan."
Skakmat!
"Itu... gue... anu ...." Aku melihat ke arah tiga temanku yang sekarang tengah cekikikan. Sial. Mereka tertawa di atas penderitaan temannya sendiri.
Tak ada pilihan lagi, akhirnya aku menjawab, "Asal lo tahu, yaa, ini dare dari temen-temen gue! Tuh, liat!" Aku menunjuk ke arah teman-temanku. Laki-laki ini pun mengikuti arah yang kutunjuk lalu mengangguk paham, mungkin.
"Mana hape lo?" tanyanya, yang lagi-lagi membuatku bingung.
"Lo nggak budek, 'kan? Mana hape lo?" tanyanya lagi.
Ini orang kenapa, sih? Aneh. Aku geleng-geleng kepala melihatnya.
"Aneh. Ditanya mana hape lo, malah geleng-geleng nggak jelas!"
Hah? Kok jadi malah dia yang marah-marah?
"Lo yang aneh. Kenapa coba minta hape gue? Lo juga punya hape, 'kan?" Aku melirik handphone yang di tangan kirinya.
"Ya udah. Sebutin nomor hape lo."
"Gini ya, anggep aja kejadian ini nggak terjadi. Gue nggak kenal lo dan lo nggak kenal gue, oke? Bye!" ucapku akhirnya.
Baru tiga langkah aku meninggalkannya, namun dia menarik pergelangan tanganku, membuatku berbalik dan berhadapan dengan. Ya Tuhan. Apa, sih, maunya?
"Tiga menit yang lalu lo nembak gue, dan gue mau mulai sekarang kita pacaran."
"Gue udah bilang, kan, itu semua cuman dare dari temen-temen gue! Kenapa lo ngotot mau jadi pacar gue?"
"Gue paling nggak suka dijadiin kelinci percobaan, asal lo tahu."
Laki-laki ini menyeringai. Lalu, selangkah, dua langkah, dia makin mendekat. Aku terus mundur hingga badanku terpentok pohon mangga. Aku hanya bisa menahan napas saat laki-laki ini berada sangat dekat denganku.
"Jadi gimana? Lo mau jadi pacar gue?" tanyanya sambil menatap mataku.
Tak ada pilihan lagi. Sebelum dia melakukan hal yang lebih mengerikan dari ini, akhirnya kujawab, "Iya, gue mau!"
Laki-laki ini menjauhkan wajahnya dariku dan berdiri tiga langkah di depanku. Dia tersenyum, "Baguslah," lalu pergi. Berjalan ke arah pintu belakang sekolah yang menghubungkan langsung ke jalan raya.
Satu hal yang kuingat dari pria tadi. Name tag yang tertera di seragamnya bertuliskan Alder.
***
"Aaa!!! Gila! Gila! Gila!"
"Aduh, Tari, berisik! Dari tadi lo jerit-jerit nggak jelas tahu!" omel Sarah dengan santainya.
Kini kami berempat tengah di kantin sekolah, dan untungnya saat ini sepi, jadi aku tak perlu menahan malu jika ada yang menatap aneh karena dari tadi aku menjerit-jerit dan mengoceh tak jelas. Jangan tanya tentang ketiga temanku, mereka malah tertawa dan terlihat santai. Padahal jelas-jelas aku sudah menceritakan semua secara rinci. Bahkan Sarah dengan tampang watados-nya malah asyik memakan mi ayam yang baru dipesannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare (Completed)
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue?" Kalimat itu terlontar jelas dari mulut Tari yang saat ini merasa malu setengah mati melakukan tantangan Truth or Dare dari teman-temannya itu. "Oke, mulai hari ini kita pacaran." Jawaban yang sungguh dilu...