La Chérie. 6

49 2 0
                                    

Sekarang, aku mengantar Liana dan Volok ke rumahku. Hari ini semakin gila saja. Hanya gara-gara toko permen, sekarang aku memboyong 2 orang peri ke rumah. Ralat (Liana bukan peri), aku sedang memboyong 2 orang berkekuatan sihir ke rumah. Kedengarannya jadi lebih mengerikan.

Setelah sampai di rumahku yang notabenenya cukup jauh dari sungai tadi (dan syukurlah aku tinggal sendiri), Liana dan Volok mengikuti aku memasuki rumah.

"Buku itu benar-benar hilang, ya?" tanya Liana, suaranya cemas.

"Kemungkinan besar, ya. Sudah bertahun-tahun sejak aku menyentuh buku itu," jawabku, "Tapi aku yakin aku pernah melihatnya di sini," Aku berusaha meyakinkan mereka, dan diriku sendiri. Volok mengangguk mendengar jawabanku.

Volok lalu mengeluarkan sejumlah bubuk berkilau. Bubuk berkilau ini juga bercahaya, namun warnanya bukan keemasan seperti yang di toko permen tadi, melainkan biru muda yang lembut. Volok membisikkan beberapa kata ke bubuk itu, kemudian dia menyerahkannya padaku.

"Untuk apa ini?" Aku mengernyitkan dahi sambil menatap bubuk berkilau yang kelihatannya semakin bercahaya setelah dibisiki kata-kata tadi (aku yakin itu mantra).

"Taburkan sedikit bubuk ini di beberapa tempat yang kamu pikir kamu pernah melihat buku itu di sana. Misalnya meja belajar, atau gudang, atau bahkan mungkin toilet," ujar Volok, lagi-lagi membuatku mengernyitkan dahi. "Kita tidak pernah tahu di mana buku itu berada," lanjutnya, berusaha menerangkan kenapa dia mencantumkan toilet.

Aku lalu mencoba menaburkan bubuk itu di sekitar tas yang kubawa saat darmawisata dua tahun lalu (saat aku menemukan buku itu), di sela rak buku dan di atas meja belajar. Jika kalian penasaran, tidak. Aku tidak menaburkannya di toilet. Tidak akan.

"Setelah ini apa?" Aku menatap Volok.

"Kalau buku itu ada di sekitar bubuk yang kamu taburkan, bubuk tadi akan bercahaya dan berubah warna menjadi keperakan," jelas Volok. "Tapi ini mungkin akan memakan waktu cukup lama, mengingat bubuk itu bekerja dengan cara mendeteksi sisa aura sihir yang tertinggal di sebuah benda, dan sangat mungkin sisa auranya sangat lemah atau bahkan sudah hilang. Buku itu sudah tidak pernah dipegang Mirabella lagi selama ratusan tahun," Volok mengendikkan bahu.

"Kalau sampai berjam-jam bubuknya tidak berubah warna, bagaimana?" Kali ini Liana yang bertanya.

"Kita mau tidak mau harus 'memaksa' benda itu keluar dengan mantra meskipun persentase keberhasilannya juga kecil. Cara kerja mantra itu sama dengan bubuk berkilau tadi, hanya saja mantra biasanya lebih kuat dari bubuk berkilau," jawab Volok, dan dia terlihat sedikit menyesal karena tidak bisa membantu banyak.

"Baiklah," kata Liana akhirnya, "Mari kita menunggu." Liana lalu duduk di sebuah sofa. Aku dan Volok mengangguk.

"Sebenarnya untuk apa kalian mencari buku itu?" tanya Volok.

"Ceritanya panjang, tapi intinya kami ingin membantu mengembalikan kedamaian antar dunia. Karena rasanya tidak mungkin melibatkan peri penjaga, Mirabella adalah pilihan terbaik untuk menghubungkan kami dengan dunia peri. Dan buku harian itu adalah cara yang cukup bagus untuk menemukan Mirabella yang dikabarkan menghilang," jawab Liana.

"Oh, gara-gara kejadian itu, ya. Yang ada hubungannya dengan Rosemary," tebak Volok. Liana mengangguk.

"Aku juga sudah lama memikirkan hal itu, tapi rasanya tidak mungkin kalau melakukannya sendiri. Teman-temanku jelas tidak mau membantu. Mereka malah menganggapku gila," Volok tertawa.

"Gila? Kenapa?" tanyaku. Masa orang yang mau menyelamatkan dunia dianggap gila.

"Peri-peri penjaga lain sekarang terlalu takut pada manusia. Untung saja kalian tidak nekat ke dunia peri. Kalian bisa langsung dibunuh," ujar Volok.

"Setidaknya sekarang kita bisa saling membantu," Liana tersenyum.

Kami bertiga pun melanjutkan menunggu sambil mengobrol tentang dunia peri. Volok menyuruhku mengecek bubuk itu 10 menit sekali. Namun setelah 30 menit, bubuknya masih belum berubah warna. Liana tidak mau menyerah dan mengusulkan agar aku mengecek bubuk itu 20 menit sekali. Dan ternyata setelah satu setengah jam, bubuk itu masih belum berubah warna.

"Astaga," keluh Liana.

"Ya sudah," Volok menghela napas, "Kita pakai mantranya."

Volok akhirnya merapalkan deretan kalimat yang membuat perasaanku campur aduk. Dia lalu membuat beberapa isyarat tangan. Tiba-tiba ada angin, dan ruangan dalam rumahku terlihat bercahaya kebiruan selama beberapa detik, lalu kembali normal. Setelah itu Volok mengernyitkan dahi.

Aku menatap Volok dengan bertanya-tanya. Volok balas menatapku dan menggeleng.

"Sayangnya buku itu tidak ada di sini," Volok menghela napas, lagi.

"Apa? Lalu kita harus apa?" Aku terperanjat.

"Tidak ada cara lain? Pasti ada," desak Liana penuh harap.

"Memang ada, tapi ini cara yang tidak mungkin. Ada alasan kenapa peri tidak pernah mencuri benda milik peri lain," ujar Volok. "Siapa pun yang memegangnya, pemiliknya akan selalu bisa menemukan benda itu, meskipun tidak ada sedikit pun aura sihir yang tertinggal. Peri selalu memiliki mantra khusus untuk menemukan benda miliknya. Sedangkan pemilik buku ini saja entah ke mana," jelasnya.

"Jadi dengan kata lain, untuk menemukannya, Mirabella Delphine harus kita suruh ke sini?" Liana menyimpulkan dengan ekspresi putus asa. Volok mengangguk.

"Ya ampun," keluh Liana, lagi.

"Atau... tidak usah. Bukunya sudah ditemukan," kata Volok. Seorang wanita tiba-tiba muncul di depan kami, dan dia membawa buku harian Mirabella Delphine di tangannya.

.... Tungguin part selanjutnya ya~ ....

Thank You,

ありがとう ございます,

감사함니다,

Terima Kasih,

Hitorikko

La ChérieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang