La Chérie. 5

60 4 0
                                    

"Di rumahku, kalau tidak salah," tebakku.

"Oke, aku yakin kita bisa menemukannya kalau kita pergi ke sungai dulu," ujar Liana.

"Hah? Sungai?"

Aku hanya melongo ketika Liana terlihat memanggil buntalan dandelion bercahaya dan membuat beberapa isyarat tangan. Setiap benih dandelion kini memisah, beterbangan di sekeliling kami. Sedangkan bubuk berkilauan tadi sudah dikumpulkan Liana dalam satu kantung kecil.

"Nah, ayo kita ke sungai," katanya sambil membuat satu isyarat tangan lagi dan pintu toko permen langsung terbuka. Liana berjalan keluar toko permen.

"Untuk apa ke sungai, sih?" tanyaku. Liana mengibaskan tangannya.

"Hush, sudah, ikut saja," katanya. Aku pun menurut dan mengikuti Liana.

Kami berjalan kaki beberapa kilometer menjauhi kota, dan kami tiba di area yang sejauh mata memandang, hanya ada deretan pohon dengan bunga warna pink dan sebuah sungai yang cukup besar. Liana mengajakku menyusuri sungai itu.

"Hati-hati," Liana memperingatkan. Aku mengangguk. Belum sampai 5 meter, Liana kembali memperingatkanku.

"Hati-hati," katanya lagi. Aku mengangguk, lagi. Mungkin Liana khawatir, pikirku. Sekitar 10 meter kemudian,

"Hati-hati, Nicoletta," ujar Liana. Kini aku menatap Liana dengan tatapan 'Anda-sudah-mengatakannya-tiga-kali'.

"Maaf," kata Liana. "Tapi kalau boleh jujur sekarang aku sangat khawatir. Ini sungai tempat aku jatuh dulu," kenangnya. Aku terkejut. Pantas saja dia terus memperingatkanku agar berhati-hati. Aku jadi ngeri sendiri. Tapi syukurlah, belum beberapa jauh kami berjalan, kami menemukan sebuah jembatan kayu kecil. Liana menuntunku melewati jembatan itu ke seberang sungai.

"Sebenarnya kita ini mau ke mana, sih?" tanyaku. Liana terlihat mencari-cari sesuatu sambil melanjutkan perjalanan menyusuri tepi sungai, kali ini di sisi yang lain.

"Kamu ingat peri yang aku ceritakan? Yang memberiku kekuatan sihir?" Aku mengangguk. "Aku ingin memanggilnya," katanya.

"Tapi bukankah tidak ada lagi peri di muka bumi ini?" Aku mengernyitkan dahi.

"Dia itu peri penjaga. Ada peri-peri penjaga yang ditempatkan di beberapa lokasi untuk mengawasi keseimbangan hidup di bumi, termasuk dia. Peri-peri inilah satu-satunya jenis peri yang tidak diganggu kelompok pemburu peri. Kalau keadaan sudah terlalu parah, dia yang bertugas memanggil peri-peri kembali ke bumi, apa pun yang terjadi," jelasnya. Aku kembali mengangguk.

Liana lalu melihat sebatang pohon kecil dengan daun berwarna ungu.

"Nah ini dia," kata Liana sambil menghentikan langkahnya. Aku ikut berhenti. Kemudian Liana mengeluarkan kalung dengan liontin oval dari batu safir dan melemparnya ke dalam sungai.

"Voloookkkkk!!!!" seru Liana tiba-tiba. Hah? Volok? Apa lagi itu? Jangan bilang itu sejenis mantra, pikirku. Saat aku sedang asyik memikirkan akan menghasilkan apa mantra 'Volok' tadi, seorang laki-laki dengan pakaian basah muncul dari dalam sungai. Aku begitu kaget sampai aku tidak bisa mengungkapkannya dengan kata-kata.

Belum habis keterkejutanku, laki-laki itu tersenyum pada Liana, lalu dia melihatku. Tidak lama kemudian dia mengedipkan sebelah matanya padaku. Aku mengernyitkan dahi.

"Halo, Volok," sapa Liana pada laki-laki itu, "Kami butuh bantuan," lanjutnya.

"Baiklah. Bantuan apa?" tanya Volok sambil mengembalikan liontin itu, dan membuat beberapa isyarat tangan. Mendadak angin kencang muncul dan pakaiannya langsung kering. Aku melongo. Antara heran, terkejut dan takjub, semuanya bersatu padu.

Volok ternyata adalah nama laki-laki tadi. Dia adalah peri yang menolong Liana, sekaligus memberi Liana kekuatan sihir. Kekuatan sihirnya berhubungan dengan angin. Volok tidak terlalu tinggi, tapi sorot matanya cerdas dan garis rahangnya tegas. Ada sesuatu dalam gesturnya yang menunjukkan kalau dia bisa melakukan apa pun untuk melindungi orang yang dia sayangi.

Saat sedang mengamati Volok, tiba-tiba dia melihat ke arahku. Aku terperanjat.

"Astaga," kata Volok sambil melihat ke arah Liana, "Baru beberapa detik melihatku saja dia sudah terpesona," Volok menunjukku. Liana tertawa.

"Mana mungkin dia terpesona," bantah Liana. "Dia tidak akan terpesona pada pria yang keluar dari dalam sungai."

"Sudah jelas dia terpesona," Volok tertawa. "Jadi, bantuan apa yang kalian butuhkan?" tanyanya.

"Buku harian Mirabella Delphine. Dia pernah membacanya," Liana menunjukku. Volok melihat ke arahku dengan ekspresi kaget yang kalau boleh jujur, tidak pernah kubayangkan akan terlihat di wajah seorang peri.

"Bukankah buku itu sudah menghilang beratus-ratus tahun yang lalu?" Volok mengernyitkan dahi sambil menoleh ke arah Liana.

"Kupikir juga begitu, tapi bahkan dia bilang dia masih menyimpannya di rumahnya. Masalahnya adalah, sepertinya buku itu hilang," Liana terlihat cemas.

"Menemukan barang yang hilang adalah keahlianku," ujar Volok bangga. "Biarkan aku mencoba menemukannya!" Volok menawarkan diri padaku, dan aku mengangguk.

.... Tungguin part selanjutnya ya~ ....

Thank You,

ありがとう ございます,

감사함니다,

Terima Kasih,

Hitorikko

La ChérieTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang