[vi] : aku, dia, dan hujan

209 20 0
                                    

setiap orang kutanya, apakah hujan bermakna tersirat untukmu?

mereka-mereka yang tak mengerti maksudnya hanya bisa menggeleng dan membalas dengan kata tidak.

lalu bila kutanya sekali lagi dengan dia, apakah hujan bermakna tersirat untukmu?

entah perasaanku saja atau bukan, hanya dia yang sempat berpikir, menunduk, lalu menatapi awan.

ia tersenyum nanar, menunjukkan awan yang dihiasi warna abu gelap di tengahnya."dia, awalnya hujan."katanya sambil tak berhenti menunjuk ke arah awan itu.

aku sempat berpikir secara logis, ya aku menyetujui ucapannya. awanlah awal dari hujan.

ia kembali melanjutkan ucapannya."coba lo pikir, semua ga berawal itu artinya bukan kehidupan. ada awalan yang harus dimulai dan ada akhiran yang harus dilihat. itu semua searah, saling berkaitan, punya konteks yang berkaitan, mir."ucapnya menjelaskan sedikit demi sedikit membuatku mengerti.

lalu ia menoleh ke arahku."sama kaya yang lo tanya tadi, apakah hujan bermakna buat gue. jelas dia bermakna, dia contoh jalannya kehidupan. dia memulainya melalui awan, mencoba menampung semua masalah yang ia punya sampai rasanya ia tak kuat lagi, ia bagi kepada semua orang, ia curahkan semua lukanya pada semua orang dengan jumlah yang sama. dan sekarang hujan cuma bisa nikmatin akhir dari kehidupannya, kalau masalah pada dasarnya ada yang harus dibagi.

kecil atau engganya masalah di hidup, seenggaknya hujan udah membuktikan kalau awan sekalipun ga kuat buat nampung bebannya sendiri. dia butuh perantara buat berbagi masalah."jelasnya panjang sampai tak sadar angin berhembus membuat rambutku menyentuh wajah.

"nah, lo jadi temen harus kek hujan. dia ga mau lihat temennya sendiri susah, dia mau nunjukin kalau masalah tuh emang ga semuanya punya jalan, tapi masalah punya pengendalinya. Ya tergantung sama orangnya tersendiri, mir. semisal hujan dan awan ga saling terikat, apa mereka saling membantu?"tanyanya padaku.

aku hanya dia sambil mencoba menjentikkan jariku seolah-olah aku bisa menyentuh awan itu."tergantung, seberapa pentingnya mereka satu sama lain."

"ketika gue nanya, seberapa pentingnya gue di hidup lo, jawaban lo gimana?"

pertanyaan itu membuatku mengernyit seketika."kita lagi bahas awan sama hujan bukan lo sama gue."

"ya...kan ada kaitannya."

"paan sih."

"gue tanya sekali lagi, seberapa pentingnya gue di hidup lo, mir?"

"ya...penting."

"penting buat lo jadi sandaran kalau lo sedih doang?"

"ngga—"

"terus gunanya lo nanya gini sama gue buat apa?"

tanganku menggaruk hidungku yang tidak gatal. aku hanya bertanya awan dan hujan saja tidak ada maksud yang lain, terus terang saja.

"kok lo kek gini sih?"

dia menertawaiku remeh."Jadi lo nanya gini ke gue ga beralasan?"

"emang harus beralasan?"

"lo tau ga salah lo dimana?"ucapnya dengan nada yang naik satu oktaf membuatku mendengus kasar."gue ga tahu, bram. tolong ga usah terlalu menekan gue kek gini, kalaupun lo ga mau jawab pertanyaan gue tadi ya ga usah, kenapa juga harus lo jawab kalo lo gamau jaw—"

bram mendecak dan memotong ucapanku."justru lo yang kenapa, yang ga pernah jawab pertanyaan gue saat gue beneran serius nunjukin perasaan gue ke lo."

aku memejamkan mataku sebentar lalu hendak menjawabnya."bilang suka ke orang kek lo butuh waktu khusus, bram. mana bisa gue bilang langsung ke elonya."

seolah-olah bram tak mendengar ucapanku, ia mulai berbicara lagi."lo punya rasa ga sih sama gue?"

"ada pertanyaan lain ga sih?"

"ya atau engga."

"bram...."

"ya atau engga!"

"cara lo salah kalo lo emang sayang sama gue! lo terlalu kasar! yang ada di pikiran lo tuh cuma penting buat lo, lo, dan lo!"

bahuku naik turun menahan amarah ketika aku membentak bram tadi. laki-laki itu menatapku dalam diam.

sementara aku sudah tak kuasa membendung air mata yang kutahan sedari tadi."kalo lo emang sayang sama seseorang, posisiin diri lo dulu jadi orang yang lo suka, biar lo tahu apa dampaknya di setiap hal yang lo lakuin buat orang yang lo sayang itu."

bram maju selangkah, mendekatiku dan mencium dengan kilat tepat di bibirku. aku merasa sesak secara tiba-tiba. jantungku yang tadinya berdetak dengan cepat kini berdetak tak karuan.

"gue senekat ini ada di depan lo tiap harinya karena gue berani ngelawan rasa takut gue untuk lo tolak beribu kali."

kulihat di kedua iris mata milik bram, laki-laki ini sedang tidak dalam suasana senang.

"bram..."

"gue bakalan menjauh kalo itu emang yang lo mau."

rasanya ada yang menyekikku ketika aku mendengar sederet kalimat yang diucapkan bram sekali hembusan napas.

dia begitu serius, dia serius meninggalkanku di sini, apa dia tidak tahu kalau aku belum selesai bicara?

bram sudah melangkah pergi menjauh dariku. bila aku tidak mengucapkannya lagi apakah bram akan kembali?

"jadi hujan di hati gue, bram."suaraku yang bergetar membuat langkah kaki bram terhenti.

aku melangkah mendekatinya, memeluknya dari belakang sambil terisak bahwa nyatanya aku terus menyakiti diriku sendiri untuk tidak menerima perasaannya.

"gue udah terlanjur sakit, nahan perasaan gue buat lo. gue udah terlanjur sakit buat lo bisa buat jarak sama gue, gue ga bisa terus kayak gitu, bram."

tanganku semakin erat memeluk bram dari belakang, entah kemeja laki-laki itu sudah basah oleh air mataku, aku tak peduli.

"nangis sepuasnya mir, gue ga mau liat lo nangis lagi saat lo memulai hidup sama gue."

dan ucapan bram membuatku semakin lega, bahwa laki-laki ini benar-benar bisa menjadi hujanku kelak.

EvertunesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang