* * *
"agam, sebentar dulu," vania melepaskan tangannya dengan pelan ketika genggaman agam terasa begitu erat.
vania terhenti dari langkahnya, ia menggigit bibir bawahnya."gue mau berhenti..."napas vania terasa mencekat untuk melanjutkannya,"....jadi pacar lo."
laki-laki dengan baju kaos hitam dan jaket jeansnya ini melemaskan bahu, ada wajah menyedihkan di hadapan vania."kok mendadak sih, van?"tanyanya dan menelan ludah sehingga jakunnya naik turun."gue belum siap,"
suasana parkiran festival yang sedikit lenggang ini semakin menambah kesan menyedihkan diantara mereka.
"gue capek ngehadepin sikap lo yang terus dingin gini, gam. gue juga mau diperhatiin, diajak ketawa, diajak seru-seruan kayak orang pacaran biasanya, gue juga mau kalo lo diajak ke sini bisa ke sana bisa," vania menjelaskan sesekali menyeka air matanya yang tak bisa dibendung lagi.
agam diam. laki-laki itu hanya menatap vania, sesekali matanya mengikuti arah pandangan vania.
"kalo gitu gue ma—"ucapan agam terpotong ketika tangan vania ada di hadapannya memberi tanda untuk berhenti."gue cuma ngejelasin apa yang gue pendem selama ini, gam."
agam menelan ludahnya,"gue beneran ga tahu kalo ternyata lo ga suka sifat gue yang kaya gini, van. lo ga pernah bilang kalo lo ga nyaman sama hal itu, gue minta maaf."
vania menatap ke arah atas, mencoba menahan air matanya agar tidak terjatuh lagi."gue ga suka sama semua hal itu tapi jujur gue ga mau ninggalin lo, gam." ucap vania dan menangis kembali karena tak tahan dengan semuanya.
agam sadar dirinya salah, sadar betul. harusnya ia peringatkan dari awal kalau dirinya ini memang seperti itu. entah, semua sudah lewat, agam tidak bisa menyalahkan masa lalu juga.
cowok ini merasa rongga dadanya sesak, seperti penuh asap di dalamnya sehingga tak bisa bernapas lega melihat vania menangis.
ia dekap perempuan itu ke dalam pelukannya. vania masih menangis di dalam sana. pundaknya yang naik-turun itu diusap pelan oleh agam.
vania membalas pelukan itu, tangannya memeluk erat punggung agam."agam, gue minta maaf karena ga bisa nerima lo apa adanya. gue minta maaf gue jahat sama lo gara-gara ini, tapi kalo gue pendem, gue sakit sendiri, gam." jelas vania sendiri.
agam masih diam, mendengar ucapan vania sambil sesenggukan itu membuat dirinya merasa lebih banyak salah dari vania.
tiba-tiba vania melepaskan pelukan dari agam, ia mengusap air matanya, namun perempuan ini masih tetap sesenggukan.
agam melihat perempuan yang ada di depannya, sedang menunduk. tangannya otomatis mengusap pelan kepala vania."gue paham, van,"katanya sambil berusaha mengeluarkan senyum terbaik yang ia punya.
"kalo lo mau lepas dari gue," agam menarik napasnya kasar sebelum akhirnya ia hembuskan pelan,"gu—"
"agam," vania mendongak. mereka saling beradu pandang. tatapan mereka sama-sama menyedihkan.
agam masih tersenyum,"gue ngerelain lo pergi dari hidup gue, van." lanjut agam sambil mengusap pipi kiri vania.
"agam,"panggil vania lagi namun kali ini air matanya menetes."setelah ini, jangan hilang dari hadapan gue, gue belum terbiasa." pinta perempuan itu pada orang yang ada di hadapannya.
agam menunduk sebentar, ia menatap mata vania dengan pelan, seperti mengirim pesan lewat mata rasanya.
vania merasakannya, ia sudah tak bisa berkata-kata lagi. harus diakui ini adalah keputusannya, bukan salah agam juga.
agam menghembuskan napasnya pelan."gak akan. gak akan pernah gue hilang dari hadapan lo, sekali pun gue udah ga ada lagi, van. lo orang pertama yang ngubah hidup gue,"ucap agam kemudian laki-laki ini mendekati vania.
lebih dekat lagi, sampai tak ada jarak diantara mereka. vania sudah lebih dulu memejamkan matanya, sementara agam masih sempat tersenyum sambil berbisik."terima kasih, sayang."
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
Evertunes
Short Story» written in lowercase « nanti, akan ada kisah jatuh cinta dari kita yang tidak akan bisa dilupakan. 2017, short story by mgytr.