Aku melewati koridor yang masih sepi ini sambil bersenandung kecil mengikuti alunan musik lewat earphone yang kusumpal di telinga. Aku berjalan santai, memegangi tali tas.
"KUDA TERBANG!"
Aku kaget karena tiba-tiba ada yang menepuk pundakku dari belakang, sampai aku latah seperti itu. Untung aku tak punya riwayat penyakit jantung, jadi aku masih hidup dan siap mencaci siapa yang iseng mengagetkan sekaligus mengganggu ritual bernyanyiku pagi ini. Kucopot earphone, bersiap memaki.
"EH! JADI ORANG TUH JA ...." Aku menggantung kalimatku saat mendapati Alder berada tepat di hadapanku—ketika aku sudah membalikkan badan.
"Apa? Kalo ngomong tuh jangan setengah-setengah, pamali. Oh, gue tahu, lo pasti mau ngomong gini. Jadi orang tuh jangan ganteng banget apa? Gue jadi terpesona ngeliatnya. Gitu, 'kan?"
Hell! Ini udah siang, 'kan? Masih ada aja orang yang lagi mimpi. Entah urat malunya sudah putus atau dia memang punya tingkat ke-PD-an menembus batas maksimum, sampai dengan santainya berbicara seperti itu padaku.
"Aneh." Hanya itu yang kuucapkan, lalu pergi meninggalkannya.
"Lo belum tahu nama gue, 'kan?"
Aku menoleh, Alder mengikutiku dan sekarang kami tengah berjalan beriringan.
"Alder," jawabku
"Baguslah lo udah tahu, jadi gue nggak perlu perkenalan lagi." Dia terkekeh.
Aku mempercepat langkah supaya segera sampai di kelas. Koridor pun sudah agak ramai dengan siswa yang baru datang. Aku menoleh ke belakang, memastikan apakah Alder masih mengikutiku atau tidak. Baguslah, ternyata dia tak mengikutiku. Dia tengah berdiri di tengah-tengah koridor dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana, dan... dia tersenyum padaku.
Aku mengernyit heran. Ada apa dengan laki-laki yang bernama Alder ini? Kenapa tingkah lakunya berubah-ubah? Dari mulai sosok misterius, menyeramkan, dan konyol. Entah sudah berapa kali aku menggelengkan kepala menghadapi tingkah lakunya. Dia seakan mempunyai teka-teki yang membuatku penasaran dan ingin mengetahui lebih jauh supaya bisa memecahkannya.
Sesampainya di kelas, aku mendapati Risma, Hana, dan Sarah tengah bergosip ria. Terbukti, mereka terlihat antusias bertukar cerita satu sama lain.
"Lagi ngomongin apa, sih? Seru banget kayaknya." Aku langsung duduk di samping Risma.
"Ini, loh, kita lagi bikin strategi buat nyontek pas remed nanti. Haha," bisik Risma.
"Apa strateginya?"
"Ssttt... jangan keras-keras, nanti yang lain denger." Kini giliran Sarah yang berbisik tak kalah pelan. "Pokoknya semuanya udah mateng, semateng-matengnya. Lo nggak perlu tahu, Tar."
Aku memutar bola mata, malas.
"Lagian lo kenapa sekolah? Bukannya diem di rumah, kek, maen ke mana, kek. Lo kan nggak kena remed." Hana menimpali.
Memang, di kelasku ini hanya tiga orang yang tidak kena remedial Matematika. Sesuatu yang ajaib adalah aku menjadi salah satunya. Dibanding Susi dan Tia, jelas nilaiku berada jauh di bawah.
"Gue bosen kalo di rumah terus. Mau maen sama siapa? Kalian bertiga kan sekolah semua," ucapku jujur. Mendekam di rumah pasti hal yang dilakukan tidak jauh dari mainan handphone, nonton TV, dan kalau sudah mentok bosen, ya tidur.
"Iya juga, sih." Hana mengangguk.
"Kenapa lo nggak ajak si Alder jalan aja? Remed kelas sebelah kan besok, jadi sekarang dia free, dong. Iya, 'kan?" Risma menaikturunkan alisnya padaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Truth or Dare (Completed)
Teen Fiction"Gue suka sama lo. Mau gak jadi pacar gue?" Kalimat itu terlontar jelas dari mulut Tari yang saat ini merasa malu setengah mati melakukan tantangan Truth or Dare dari teman-temannya itu. "Oke, mulai hari ini kita pacaran." Jawaban yang sungguh dilu...