Prolog

59 5 8
                                    

Cokelat kemerahan, warna itu terlihat dimanapun kakiku melangkah. Kanopi cantik dari sang ketenangan, musim gugur. Senyumku terulas, memandangi pancaran cantik itu tak pernah membuatku bosan. Terutama Maple, pohon berdaun unik ini selalu membuatku tertarik. Meskipun daunnya berserakan dimana-mana dan nyaris membuatku tersandung, aku hanya akan terkekeh kecil.

Puas mengamati, kusesap hot chocolate yang kubeli lima menit lalu. Duduk di taman, ditemani minuman hangat dan daun berguguran adalah kegiatan favoritku. Semenjak menapaki negeri ini tentunya. Aku mendengus geli, sebab di negeri asalku tak mungkin ada musim seperti ini. Jika ada pun maka musim kemarau di mana sumber air menyurutlah penyebab dari gugurnya dedaunan.

Negeri asal, senyumku kembali mengembang tipis kala netraku berbenturan dengan buku di pangkuanku. Ada sesuatu di atas sana, setangkai bunga kering. Tahukah, bunga yang selalu mengejar cahaya mentari? Bunga Matahari. Tapi bukan bunga besar itu yang tengah ku pangku. Melainkan versi mini dari sang bunga, Matahari mini, kecil namun tak kalah menawan. Warnanya begitu berkilauan kala cahaya menerpa, sama seperti cokelat kemerahan di sekitarku.

Sayangnya, bukan warna itu pula yang kutatap kali ini. Hanya ada warna hitam kusam, begitu kering juga rapuh. Kuraih tangkainya, memutarnya perlahan dengan tatapan menerawang.

Kau masih di sini rupanya,

Tatapanku melemah begitu melihat sebuah kertas lusuh terlipat tepat di bawah bunga tadi. Kedua benda ini selalu bersama, terselip dalam buku dan tersimpan cukup lama.

Waktu selalu cepat berlalu, ya?

Aku mendongak, tersenyum tipis pada langit biru berkabut.

“Remaja, teman, dan perasaan. Kenapa mereka selalu berkaitan?” gumamku lirih.

Dan hembusan angin menjawabnya, dengan kalimat sunyi pada usapan lembut di atas surai.

Friend ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang