Ares berusaha menghentikan tawanya sembari menarik nafas,
"Apa kau sekaku itu? Kukira kau mudah bersosialisasi hingga bisa beradaptasi di sana beberapa waktu. Lihatlah ekspresimu, kau sangat lucu." Ujar Ares menahan mati-matian tawanya.
Ekpresi Diora luntur, keterkejutannya hilang begitu saja. Entah mengapa ia kesal, seakan lelaki didepannya baru saja mengerjainya, sekaligus menyinggungnya. Dan oh, apa ini. Sejak kapan dirinya menjadi sensitif?
Diora menarik nafasnya sekejap, lantas menghembuskannya dengan sedikit kasar. Berniat menyindir lelaki itu, tapi yang di sindir hanya tersenyum kecil. Tentunya setelah berhasil menguasai diri dari ledakan tawa tadi.
"Tidak, perkataanmu tidak benar. Aku memiliki banyak teman di sana. Hanya saja, yah... Ini hari pertamaku kembali di Indonesia. Aku tak mau hari ini menjadi buruk, termasuk dengan menyinggungmu. Kupikir kau tersinggung tadi." Ujar Diora, entah mengapa ia ingin mengklarifikasinya. Meski sebenarnya terlihat tak berguna bukan.
Ares menyunggingkan seutas senyum tipis, menatap Diora yang telah kembali berjalan. Di luar prasangkanya, gadis itu memilih mengklarifikasi daripada diam atau kesal dengan tawanya tadi. Menghendikkan bahu, ia menyusul langkah kecil si gadis.
"Hei, kau tak marah?" Tanyanya sembari mensejajarkan langkah.
Diora menoleh dengan sebelah alis terangkat.
"Untuk apa? Tawa tadi?" Tanyanya balik dan di balas anggukan oleh Ares.
"Tidak sama sekali, bukan hal besar." Lanjutnya.Tanggapan yang simple, tangkap Ares.
"Ehm, jadi untuk apa kau membawaku?" Tanya si gadis, memecah kesunyian yang sesaat hinggap di antara mereka.
"Oh, kau akan kuantar keruang kepala sekolah. Ada sedikit urusan disana." Jawab Ares, serta merta membuat alis Diora kembali terangkat.Ruang kepala sekolah? Gadis itu telah memenuhi semua keperluan untuk kembali bersekolah di sini jauh hari, bahkan sebelum raganya terbang ke Indonesia. Lantas untuk apa kepala sekolah mencarinya. Dan yang mengherankan, ada 2 orang yang tadi menghampirinya. Untuk mencarinya? Keperluan apa yang di maksud?
"Kupikir kau heran."
"Huh? Ah ya, sedikit."Dan ketika Ares kembali menginterupsinya pikirannya pun kembali buyar. Pelukan pada bukunya semakin mengerat, ia harap panggilan ini bukan karena masalah yang dibuatnya.
"Ah, jangan tegang seperti itu."
Diora menoleh,menatap Ares tepat pada mata yang sedikit menghilang karena senyum di bibirnya. Sejak tadi Ares seolah membacanya, padahal ia hanya memikirkan semua dalam pikirannya sendiri. Tapi siswa itu menebak dengan cepat dan tepat.
"Tidak, aku tak tegang. Hanya saja, lebih tepat jika dikatakan heran. Kupikir tak ada alasan khusus untukku ke ruangan itu saat ini." Ujar Diora.
"Hm... Begitu ya, kau akan tau nanti. Bukan soal serius jadi kau tak perlu berpikiran macam macam." Timpal Ares yang membuat Diora mengangguk mengerti.Mereka melanjutkan langkah hingga terlihat papan tergantung bertuliskan ruang kepala sekolah. Ares maju untuk mengetuk pintu itu. Tapi sebelum ketukan terdengar, suara dari dalam ruangan membuat genggaman tangan itu melayang di udara
Diora yang memperhatikan dari belakang hanya terdiam, tak mengerti mengapa laki-laki itu justru mengurungkan niat mengetuk pintu. Posisinya yang sedikit jauh dari pintu membuat telinganya tak mampu mendengar jelas apa yang ada di balik sana. Berbeda dengan Ares yang cukup bisa mendengar percakapan itu.
Tak sampai semenit, Ares telah berbalik ke arah Diora sembari menggaruk belakang telinganya yang tak gatal.
"Di dalam ada tamu kurasa, mungkin kita bisa menemuinya nanti. Ah, atau kita bisa menunggunya di kantin. Kurasa sebentar lagi tamu itu akan pulang." Ucap Ares.
"Apa tak apa jika kita justru ke kantin bukan langsung menemuinya?" Tanya Diora.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend Zone
Teen FictionRasa suka dan nyaman hanyalah berbeda tipis, jadi kau pilih yang mana? Hanya kisah kecil dari orang orang yang merasakan masa remaja, pertemanan, dan perasaan yang selalu berkaitan.