"Diora, tunggu!"
Seruan itu tertangkap samar oleh pendengarannya dari balik tembok perpus. Namun dengan acuhnya ia memilih untuk mendiamkannya. Meninggalkan seruan itu dan berlalu ke kelas.
Yah apa sikapnya menunjukkan kekesalan? Mungkin, tapi bukan itu yang si gadis rasakan. Memang, tapi itupun telah terbayarkan oleh penyitaan kartu perpus Arin olehnya. Sedikit info, setiap pengunjung wajib absen menggunakan kartu perpus masing-masing, maka Arin takkan bisa memasuki perpustakaan tanpa kartunya itu.
Seperti dalam pikirannya, Arin hanya ingin melakukan hal lain di dalam perpus. Dan tadi, ia tampak jelas mengamati orang lain dari balik rak. Itu hal mudah untuk di tebak, sebab untuknya hal semacam itu telah biasa ia lihat ketika menjalani program pertukaran pelajar.
Mengeratkan pelukan pada buku tebal di tangannya, ia menyunggingkan senyum tipis kala papan penujuk kelasnya terlihat dari jauh. Langkah yang berjalan santai berubah riang dan sedikit cepat. Dia hanya ingin membaca buku mitologi idamannya, dan karenanya dia sesenang itu. Dengan mudahnya melupakan Arin yang tengah berlarian menyusulnya. Tega? Tidak dia bukan orang seperti itu. Lagipula Diora memang tak menyuruh gadis itu untuk menyusul bukan.
Koridor yang di lewatinya tak sesunyi tadi, ketika lengannya di tarik oleh Arin. Mungkin sebagian siswa memilih membebaskan diri daripada terkungkung dalam kelas, memanfaatkan jam kosong. Hal yang sangat wajar dalam dunia pelajar.
"Diora Mandela Putri?"
Senyumnya sedikit memudar, beralih menjadi keheranan dalam ekspresinya. Perlahan ia menoleh ke suara ragu yang menyapanya barusan.
"Ya?" Jawabnya seadanya.
Matanya berkedip memandang laki-laki jangkung yang memberikan tatapan serius. Apakah ia mengenal orang itu? Rasanya tidak, sebab hanya segelintir orang yang di kenalnya dahulu. Dan sepertinya itu pun juga berlaku untuk lelaki di hadapannya, jelas tertebak dari nada ragu yang di katakannya.
"Ah, kupikir akan salah orang. Jadi kau Diora?"
Hei, dia telah menanyakan identitas gadis yang disapanya tadi dan ia bertanya lagi meski telah di jawab. Ekpresi serius itu memudar seketika, berubah menjadi senyuman tenang seperti biasa.
Diora mengangguk ragu, tanpa mengetahui maksud dari orang yang menyapanya barusan. Membuat lelaki itu menyunggingkan senyum lebih lebar,
"Jadi kau bisa-"
"Hei Kevin! Kau sudah disini rupanya."
Sebuah suara berat lain menyapa pendengaran mereka berdua, membuat gadis itu menoleh dan mendapati lelaki lain melambai ke arah mereka, atau tepatnya pada lelaki yang ada di depannya. Membuat Diora menatap bingung keduanya.
Sedangkan lelaki yang dipanggil Kevin itu memutar bola matanya mendapati lelaki yang menyapanya.
"Oh, dia siapa?" Tanya lelaki itu sembari menunjuk Diora.
"Murid pertukaran kemarin." Jawab Kevin seadanya membuat lelaki itu hanya ber"o"ria.Atmosfer di sana sunyi sejenak, membuat kecanggungan menyapa Diora selaku satu-satunya gadis di sana. Tepat saat gadis itu berpikir akan memasuki kelasnya, lelaki itu mendahuluinya
"Ah, Kev biar aku yang membawanya. Kau panggil laki-laki itu saja di dalam, aku yakin dia takkan bangun jika aku yang memanggilnya." Celetuk lelaki itu membuat Kevin berpikir sejenak.
"Benar juga, Celvin takkan bangun jika kau yang berteriak." Jawab Kevin.Pandangan lelaki itu beralih ke Diora yang masih menyimak tanpa mengerti apapun.
"Kau bisa ikut orang ini, dia yang akan mengantarmu nanti. Aku permisi." Ujar Kevin diiringi senyuman sebelum tubuhnya menghilang ke balik kelas Diora.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend Zone
Teen FictionRasa suka dan nyaman hanyalah berbeda tipis, jadi kau pilih yang mana? Hanya kisah kecil dari orang orang yang merasakan masa remaja, pertemanan, dan perasaan yang selalu berkaitan.