1

40 4 9
                                    

Hujan semalam telah reda, menyisakan titik-titik embun di atas daun. Pagi tersambut, menyembulkan sinar terang dari langit biru. Udara yang lebih sejuk disertai aroma petrichor menguar kuat, mungkin bisa membuat orang-orang menjalani hari dengan semangat. Namun sepertinya tidak, lihatlah ekspresi lelah dan jengah itu. Sebuah tanggapan khas untuk awal minggu.

Senin di bulan Agustus, seorang gadis terus tersenyum mengingatnya. Surai hitamnya bergerak kesana kemari, mengikuti irama langkah yang nampak begitu gembira. Diikuti ransel berwarna cerah di bahu dan dasi abu-abu yang terpasang sempurna. Senyum manisnya terpatri, melengkapi penampilan ceria pagi ini. Ia tak peduli meski beberapa orang memandangnya sinis, kekanakkan. Enggan menghancurkan mood untuk hari bahagia yang menanti didepannya.

Arin, gadis itu masih melanjutkan langkahnya. Menyusuri koridor sambil sesekali menyapa orang yang dikenalnya.

Sekolah itu terdiri atas 4 bangunan besar yang disusun membentuk persegi panjang dengan lapangan luas di tengah. Halaman luas pun membentang di depan gedung, dilengkapi gerbang yang menyambut siswa-siswi dengan tampilan taman mini melingkar di tengah halaman. Sepanjang sisi gerbang bagian dalam ditumbuhi rumput serta tanaman yang terawat baik.

Halamannya terbagi menjadi dua, sisi selatan untuk parkir kendaraan siswa sedangkan sisi utara untuk kendaraan guru dan karyawan. Lurus dengan pintu gerbang, sebuah lobby kaca berdiri. Menjadi satu-satunya akses untuk masuk ke dalam sekolah. Sisi dinding lobby penuh dengan pajangan piala serta medali milik sekolah. Jangan lupakan pula dua buah mesin pengabsen otomatis di belakang pintu kaca. Pemeriksa sidik jari untuk siswa dan guru beserta karyawan.

Sampai disini penggambaran umum sekolah favorit itu. Kembali beralih pada Arin, kali ini si gadis telah menghentikan langkah serta sesi menyapanya. Ia memilih berdiri di dekat pintu kelas daripada masuk ke dalam. Maniknya menelisik, menatap jeli siswi lain yang berlalu lalang sembari berharap cemas. Namun beberapa saat kemudian pupil itu melebar. Senyum cerahnya kembali terlihat kala menangkap siluet seorang gadis melambai. Tak sabar menunggu, akhirnya ia berlari mendekat, menerjang gadis tersebut.

"Diora!" Arin berseru kencang, nyaris membuat mereka menjadi bahan tontonan.

"Ugh, Arin k-kau me-melukku t-terlalu erat."

Arin mencebikkan bibir mendengar keluhan itu. Buru-buru ia melepaskan pelukan lantas mencibir,

"Aku kan merindukanmu, wajar kalau pelukanku terlalu erat." Gadis di depannya tertawa, sebuah suara yang Arin rindukan setahun terakhir.

tuk!

Sentilan pelan mendarat di dahi Arin. Membuat gadis itu mengaduh sembari mengusap dahinya cepat.

"Kenapa kau menyentil dahiku, Diora?!"

Diora, si gadis sebagai pelaku sentilan pelan tersebut hanya terkekeh pelan.

"Kita berbicara hampir setiap hari, bagaimana bisa kau merindukanku sampai seperti itu?" Pipi Arin menggembung, menyadari perkataan Diora memang benar adanya.

"Bisa saja kau menetap di sana lalu tak bertemu denganku lagi," jawab Arin asal. Diora tersenyum simpul, tepat ketika manik Arin melirik gadis itu.

Dalam diam ia mengamati Diora, wajah bulat dengan pipi chubby tampak tak berubah. Bermanik lebar yang terisi iris cokelat terang. Dan juga senyuman khas-nya, sebuah senyum yang akan membuat pipi chubby itu tertarik ke samping atas. Membuat manik Diora tak menyipit ketika ia tersenyum, tak seperti orang kebanyakan.

Arin akui menyukainya, sangat suka sampai ia tak sadar kalau jemarinya telah memegang kedua pipi Diora. Lantas menarik pipi itu ke samping cukup kencang, membuat Diora mengaduh kesakitan.

Arin hanya tertawa pelan sembari melepaskan cengkeramannya. Menyisakan Diora yang mengusap pipinya dengan lirikan kesal. Arin menghendikkan bahu, lagipula terakhir kali ia mencubit pipi Diora sudah lama sekali. Jadi apa salahnya melakukan itu sekarang? Tepat ketika Diora membuka mulut hendak protes, suara bel masuk menginterupsi keduanya. Mau tak mau gadis itu harus mengatupkan bibir dengan helaan pasrah. Arin tersenyum melihatnya,

"Mau masuk ke dalam kelas bersama?" Diora menggeleng atas tawaran Arin.

"Tidak, ada berkas final yang perlu kuserahkan terlebih dahulu," tolak Diora, Arin mengangguk mengerti.

"Baiklah, aku masuk dulu." Diora melambaikan tangan pada Arin yang telah berdiri di ambang pintu kelas.

"Uhm, sampai ketemu nanti Arin!"
Setelah Arin menghilang di balik pintu, Diora menatap koridor yang ada di depannya. Ia mengangguk mantap,

"Saatnya mencari ruang staff."

-

Gadis itu melangkahkan kaki, berusaha mencari papan nama bertuliskan 'Ruang Tata Usaha' bermodalkan ingatan satu setengah tahun lalu. Setidaknya ia beruntung, karena denah sekolah tak banyak berubah. Jika ada maka taman dan hutan mini-lah jawabannya, membuat lingkungan sekolah sedikit lebih indah untuknya.

"Ah, ada!" Diora berseru kecil, menemukan papan bernama sama telah terpampang tepat di depannya. Ia mengetuk pintu kaca pelan, lantas melangkah masuk dengan ucapan permisi.

"Diora?" Ia menoleh, menatap seorang wanita berparas ramah selama beberapa saat sebelum tersentak. Diora buru-buru menghampiri si wanita begitu sadar dialah orang yang ia cari. Staff yang menempati meja paling dekat dengan pintu hanya terkekeh kecil melihat ringisan Diora.

"Maaf, saya sedikit lupa dengan wajah anda ssaem-" Sebelah alis si wanita terangkat mendengar kata di akhir kalimat,

"A-ah! B-bukan! Maksudku... -bu," ucap Diora, dengan panik ia menggerakkan tangannya membuat wanita dihadapannya kembali terkekeh.

"Satu setengah tahun ya? Sepertinya kau perlu beradaptasi di negeri asalmu sendiri, Diora." Diora meringis canggung mendengarnya.

"Sepertinya begitu," ia menyerahkan selembar map kepada staff itu.

"Baiklah, dengan ini kau bisa langsung mengikuti pembelajaran. Kau sudah tau di mana kelasmu, kan?" Diora mengangguk, beruntung Arin sekelas dengannya kali ini.

"Aku akan mengantarmu pada wali kelasmu." Wanita itu bangkit, berjalan keluar dari ruang staff diikuti Diora. Tepat ketika mereka hendak memasuki ruang guru, ia berbalik. Hampir membuat Diora mengangkat alis keheranan,

"Dan satu lagi. Selamat datang kembali, Diora," ujarnya diikuti senyuman tipis. Diora ikut tersenyum, menampakkan senyum khas terbaik yang ia punya.

"Uhm!"

-

Notes,

Ssaem => Di artikan 'Guru' dalam bahasa Korea /'-'/

Friend ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang