Di samping sang guru, Diora berjalan riang. Mencoba membangun semangat untuk diri. Hari senin di bulan Agustus, hari pertamanya kembali ke sekolah lama. Terakhir kali ia menginjakkan kaki di sini sekitar satu setengah tahun lalu, kala menyempatkan diri untuk berpamitan pada teman sekelasnya dan juga Arin.
Berbicara perihal Arin, ia hanya bisa tersenyum kecil mengingat betapa antusiasnya gadis itu. Meski sering bertingkah menyebalkan, tapi ia tau Arin jujur menyampaikan perasaan yang dimiliki. Seperti saat ini, dimana manik cokelat Diora menangkap lambaian kecil Arin. Senyum bulan sabitnya terlihat jelas sejak Diora memasuki kelas, mungkinkah Arin tak sadar kalau ia tengah mendapat tatapan heran dari anak lain? Berhubung Diora bisa melihat semuanya dari depan kelas.
Ah, di depan kelas.
Cukup familiar, sebab ia pun pernah melakukan hal yang sama di sekolah lain. Mengenalkan diri sebagai murid baru yang akan bergabung menjadi anggota kelas. Senyum kecil Diora mengembang, ia menghembuskan nafas pelan.
“Namaku Diora Mandela Putri, mulai sekarang aku akan bergabung di kelas ini bersama kalian. Meski aku bukan murid baru, ku harap kita bisa saling membantu selama dua semester ke depan.” Diora buru-buru mengangkat kembali kepalanya ketika tanpa sadar ia hampir membungkukkan badan. Ia kembali tersenyum, berusaha meneteralisir kecangguan yang menyapa.
“Heee, dia bukan murid baru?” Diora mengerjapkan matanya, terkejut. Wajar saja beberapa siswa bereaksi begitu kala melihat seorang siswi asing berdiri di depan kelas.
“Sayangnya bukan, aku mengikuti program pertukaran pelajar saat kelas 1 semester ke-2 ke Korea Selatan,” jawab Diora. Kali ini ia melihat beberapa tatapan kagum mengarah padanya,
“Waah, bagaimana pengalamanmu di sana?”
“Coba ceritakan!”
“Ya ceritakan, kami penasaran dengan tes program yang dikatakan sulit itu.”
“A-ah,”
Mendengar permintaan beruntun itu, Diora meneguk ludah. Ia tak menyangka akan mendapat sambutan antusias dari mereka.
Kukira mereka tak tertarik!
Plok!
Sebuah tepukan tangan mengakhiri keriuhan kelas pagi itu. Seorang wanita muda ber-titel guru tersenyum menatap anak muridnya.
“Kita bisa mendengar kisah Diora nanti, sekarang kita mulai pelajaran pagi ini,” ujarnya, terjawab seruan kecewa dari para siswa. Ia menepuk bahu Diora pelan,
“Nah Diora kau bisa duduk sekarang. Bangkumu ada di sudut sana, berhubung hanya ada satu yang kosong.” Diora mengangguk, lantas berjalan menuju bangkunya setelah mengucapkan terimakasih. Setidaknya ia selamat dari sesi mendongeng!
Eh?
Manik cokelat terang itu sedikit membulat, sebuah siluet tubuh berseragam laki-laki menyapa pandangannya. Tampak menelungkupkan kepala di atas meja dengan kedua tangan sebagai tumpuan. Helaian surai kecoklatan terterpa sinar mentari pagi, warna yang tak asing seperti kala Diora menatap kaca. Beberapa saat lalu gadis itu berpikir akan menghabiskan setahun terakhir masa SMA dengan duduk sendirian di pojok kelas.
Ia tak terlihat dari depan sana,
Maniknya kembali melirik setelah duduk dan meletakkan tas. Apa yang murid laki-laki ini lakukan di jam pertama sekolah? Diora hampir tersentak kala laki-laki itu mengubah posisi, menatap tepat padanya-
Heh?!
-dengan mata tertutup!
“Kita mulai pelajaran kali ini, buka buku tata bahasa kalian… -Diora, ada masalah di sana?” Diora tersentak mendengar namanya disebut, ia mengibaskan tangan sembari tersenyum,
“Tidak ada apa-apa bu, aku hanya mengira buku ku tertinggal.” Guru wanita itu mengangguk paham atas jawaban Diora,
“Baiklah, lalu Arin. Apa ada yang menarik di belakang sana selain mulai membuka buku? Kau terus menoleh ke belakang.” Kali ini ganti Arin yang terpanggil, merasa tertangkap basah Arin hanya memamerkan cengiran disertai gelengan kepala, membuat siswa lain tertawa akan tingkahnya.
Diora menghela nafas pelan, ia tau sedari tadi Arin pasti terus memperhatikannya. Beruntung suasana mulai kondusif beberapa saat kemudian. Pembelajaran pagi pun dimulai dengan menyenangkan. Tapi gadis bermanik cokelat ini masih saja melirik teman sebangkunya. Entah heran atau tengah menetralisir keterkejutan. Tadinya ia sempat berpikir mungkinkah laki-laki ini sakit? Dan ketika melihat mata yang terpejam di sela surai kecoklatan, Diora pun mengerti.
Dia hanya tertidur,
Diora menghendikkan bahu, tertidur di jam pertama huh? Bukan hal asing untuk para pelajar seperti dirinya. Gadis itu menarik diri, mulai membuka buku lantas memperhatikan penjelasan guru.
Ku harap ia teman sebangku yang baik.
-
Bel pergantian jam berbunyi untuk kedua kalinya. Diora memutar bola matanya mendegar helaan nafas lega dari seluruh siswa.
Kenapa mereka ada di sini kalau tak menyukai tata bahasa?
Sang guru menghentikan penjelasannya. Mulai berkemas lantas berlalu dengan ucapan sampai jumpa minggu depan. Diora merapihkan buku-buku miliknya, berniat mengambil buku lain tepat ketika Arin berseru,
“Dioraaaaa!” Demi apapun, Diora yakin penjuru kelas juga bisa mendengar seruan itu dengan jelas. Namun sang pelaku justru tak peduli, hanya berjalan mendekat sembari memamerkan cengiran lebar. Diora kembali memutar mata,
Begitulah Arin,
“Di-o-ra,” kali ini sebelah alis Diora terangkat, kenapa tiba-tiba pendengarannya menangkap nada manja?
“Mau menemaniku ke perpustakaan?” Sebelah alis Diora ikut terangkat,
“Pelajaran selanjutnya akan dimulai kan?” Tanya Diora, tak mengerti dengan maksud gadis ini. Arin tertawa aneh,
“Kau tidak tau ya?” Kedua alis Diora hampir menyatu kali ini.
“Setelah ini kelas kosong sampai jam istirahat pertama! Semua guru sedang rapat, jadi aman saja kalau kita pergi ke perpustakaan sekarang!” Jelas Arin semangat,
“Kau-“ telunjuk Diora menunjuk wajah Arin lantas berganti menunjuk dirinya sendiri dengan pandangan bingung,
“-mengajakku ke perpustakaan?” Tanya Diora seolah baru menemukan satu keajaiban dunia di depan matanya sendiri. Arin mengangguk semangat,
“Uhm uhm, tentu saja. Karena aku mempunyai perlu di sana. Ayolah, aku yakin kau takkan menyesal nanti!”
Belum sempat menjawab, Arin terlebih dahulu menarik lengan Diora. Membuat gadis bermanik cokelat itu terpaksa berdiri dan mengikuti kemauan kawannya,Lagipula siapa yang bisa menghentikan energi semangat seorang Arin?
“Oh!” Diora menghela nafas mendengar seruan Arin.
“Apa la-… -ah,” Manik cokelat Diora bergulir mengikuti telunjuk Arin, berakhir dengan gumaman maklum pada makhluk yang tengah menelungkupkan kepala di atas meja. Sesosok laki-laki yang kini menjadi teman sebangkunya, masih terlelap pulas tanpa bergerak sedikitpun.
“Sejak tadi?“ Tanya Arin, Diora menghendikkan bahu,
“Mungkin sejak jam pelajaran belum dimulai,” jawab Diora. Mengingat sosok itu telah memejamkan mata dengan damai ketika ia datang. Entah sampai mana mimpinya sekarang, terhitung satu setengah jam sudah berlalu. Atau mungkin lebih.
Diora menyentak tangan Arin yang menggenggamnya, membuat gadis itu menoleh setelah beberapa saat terdiam.
“Ayo, kau mau ke perpustakaan, kan?”
“A-ah, ya. Ayo,”
Arin sempat melirik kembali sosok itu sebelum berlalu bersama Diora.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend Zone
Teen FictionRasa suka dan nyaman hanyalah berbeda tipis, jadi kau pilih yang mana? Hanya kisah kecil dari orang orang yang merasakan masa remaja, pertemanan, dan perasaan yang selalu berkaitan.