10

5 1 0
                                    

Laki-laki itu menarik satu bangku lantas mendudukinya. Melirik laki-laki lain yang tengah memejamkan mata diantara lipatan tangannya. Mendengus pelan, bahkan si laki-laki itu tak mengeluarkan bukunya sama sekali. Justru terlelap entah berapa lama. Dan itu bukanlah sebuah kebetulan, jika dilihat dari 4 jam pelajaran yang telah lewat pagi ini dipastikan guru tak menegur laki-laki itu di 2 jam pertama. Menghendikkan bahu, laki-laki itu hanya tau satu jawaban. mereka terlalu lelah untuk menghadapi bocah yang tengah terlelap itu.

Melirik pada jam tangannya, dilihatnya jarum jam hampir menuju pukul sepuluh. Sebentar lagi bel istirahat berdentang. Bersedekap, dipandangnya papan tulis putih penuh dengan coretan tata bahasa.

Menunggu bunyi bel? Tidak, jangan harap bunyi bel dapat membantunya. Setidaknya jika bunyi bel memang berguna,seharusnya tanpa menunggu bel istirahatpun ia tak perlu menuju kemari.

"Apa lagi?"

Suara serak rendah menyapanya lirih, melirik sedikit ditangkapnya netra itu membuka separuh. Masih menyamankan diri pada telungkupan tangannya.

"Kau bangun juga," Ujarnya.

Mendengus, ditangkapnya nada lain di dalam kalimat yang barusan ia dengar. Semacam sindiran? Itu tak penting, lagipula bukan pertama kalinya si lelaki mendengar lontaran semacam itu.

Laki-laki itu menegakkan badan, menyandarkan punggung tegap pada bangku miliknya. Alih-alih menguap ia justru menghela nafas, sembari mengusak rambut miliknya. Ikut memandang papan tulis dengan netra yang sedikit memerah.

"Aku tak memiliki kesalahan apapun. Untuk apa kau kemari."

Lagi-lagi laki-laki itu melirik, hanya sekilas sebelum membenarkan kaca mata beningnya lalu mendesis pelan.

"Kau pikir aku akan sudi duduk disini untuk memanggilmu? Aku hanya akan menyeretmu tanpa aba-aba, Celvin."

Celvin, laki-laki itu tertawa sumbang. Merasakan sensasi perih di tenggorokannya akibat dehidrasi ringan pasca bangun tidur.

Tak!

Suara itu berasal dari botol air mineral yang mendarat di mejanya, sukses membuat netra hitamnya memicing dengan sebelah alis terangkat. Mendapati tangan yang menyingkir dari botol itu, bibirnya tersungging. Ia menoleh ke arah laki-laki yang duduk di sampingnya,

"Hey kau masih baik rupanya."
"Kuanggap itu pujian." Acuh Kevin tanpa sedikitpun memandang laki-laki yang dianggapnya sinting.

Tak menanggapi ucapan Kevin, ditenggaknya isi dari botol mineral itu cepat, menyisakan separuhnya itu cukup untuk membuat tenggorokannya terasa normal kembali. Sembari menutup botol itu lagi, diedarkannya pandangan ke seluruh kelas. Mengerutkan dahi, memandangi hanya beberapa bangku terisi oleh pemilik masing-masing. Kelas kosong begitu cepat, tak seperti biasanya. Bel yang berbunyi saat itu juga membuat Celvin memutar bola mata, seharusnya ia menebak tanpa berpikir lagi. Sebab ia akan terbangun otomatis tiap mendekati bel istirahat berbunyi.

Derak bangku yang terdorong membuatnya menoleh, di sana Kevin menatapnya. Tatapan seperti biasa, tak tajam maupun dingin. Atau Celvin yang terlalu bodoh mengenali arti tatapan Kevin. Tersenyum tipis, ditatapnya balik laki-laki yang lebih tinggi darinya itu. Meletakkan botol ke mejanya kembali sambil menghela nafas,

"Aku paham, seharusnya kau tak perlu repot-repot Kev."

Bangkit dari kursinya, ia memasukkan sebelah tangannya ke saku celana sembari berjalan.

"Masih kuanggap belum selesai. Benar?" Tanyanya sembari mengangkat alis.

Berdecih, terlalu jelas terlihat laki-laki tinggi itu tak ingin menanggapi lebih jauh. Mendengarnya Celvin justru terkekeh. Membiarkan kekesalan Kevin memuncak perlahan, didahuluinya laki-laki yang menunggunya tadi. Membiarkan tingkah aneh laki-laki itu, Kevin melirik bangku kursi yang di dudukinya dan kursi milik Celvin. Mengangkat alis, diliriknya kembali Celvin yang telah mencapai pintu kelas. Berhenti di sana sembari menyandarkan tubuh pada daun pintu sebelah kanan yang tertutup, menunggunya. Menoleh lagi, ia memperhatikan objek yang sama. Tak sampai satu menit, ia menhentakkan langkah menyusul Celvin yang telah kembali berjalan, tepat saat tubuhnya menghadap ke arah Celvin tadi sebelum berjalan.

-

"Menurutmu, ini urusan apalagi?"

Menghendikkan bahu, ia menjawab pertanyaan laki-laki di depannya beberapa langkah. Ia menghela nafas, tak menyukai situasi saat ini. Tak hanya satu atau dua lirikan maupun perhatian mata yang mereka dapat. Namun sepanjang lorong yang mereka lewati ada saja hal yang membuatnya memutar bola mata berkali-kali.

"Sudah kubilang tak usah repot-repot."

Nada menyebalkan itu hanya di balasnya dengan deheman. Membuat si pelaku justru mengeluarkan tawanya.

"Sebaiknya kau tak berulah atau aku akan melemparmu dari atas sini, Celvin." Ujarnya.
"Atau mungkin kita berdua yang akan jatuh dari sini bersama. Ide bagus bukan?" Timpal Celvin.
"Kau memang pantas kusebut sinting." Gumam Kevin.

Sekali lagi, ingin mengacuhkan laki-laki itu. Sayangnya, tingkahnya itu memang tak dapat membuatnya diam barang sekali untuk tak menginterupsinya.

Tahanlah, sebentar lagi sampai

Masih melewati lorong-lorong dari gedung di sebelah selatan. Kawasan cukup sepi menyambut mereka.

"Jadi kau akan mengantarku sampai mana?"

Menghentikan langkah, netra itu menatap Kevin yang menaikkan alis. Reflek ikut berhenti berjalan begitu objek yang diikutinya berhenti begitu saja. Menurunkan alid sembari mengulas senyum tipis, kembali dilanjutkannya langkah. Melewati Celvin yang memandangi jalannya.

"Aku tak bertugas menjemputmu, tapi aku akan ikut masuk." Jawabnya.
"Ow lihat ini, jangan bilang kau ikut kasus juga."

Terkekeh pelan, pertanyaan tak masuk akal itu terdengar begitu menggelikan di telinganya.

"Teruslah bercanda, dan di sana nanti aku yang memojokkanmu. Bagaimana?" Tanyanya.
"Tak buruk juga." Tanggap Celvin dengan cengiran.

Berjalan cepat, di susulnya langkah Kevin yang lebar. Mereka berjalan bersama, beriringan melewati lorong-lorong ruangan ke tempat tujuan mereka.

-

Allo all! Friendzone back! Terimakasih buat para reader yang udah mampir juga setia sama cerita Joonie ya, jangan lupa vomments(^^)/~~~

Friend ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang