9

3 0 0
                                    

Menangkap senyum di wajah si lelaki membuat si gadis ikut tersenyum juga. Entah apa yang terjadi di antara mereka namun setelahnya kekehan kecil terdengar. Diora lah yang pertama kali berinisiatif untuk menarik tangannya, membuat jabatan tangan itu terlepas begitu saja. Mengisi keheningan, masing-masing memilih meminum minuman mereka. Tentu saja sunyi itu tak bertahan lama, tepat ketika teriakan nyaring terdengar seolah hendak memecahkan gendang telinga milik Diora, selaku objek paling dekat dengan suara itu.

"DIORAAAAAAAAAA!"

Dan waktu yang tak memberikannya kesempatan untuk menoleh membuatnya terlambat menyadari beberapa hal. Dari ekor matanya hanya melirik seseorang tengah berlari ke meja mereka, tampak sedikit jelas ada peluh di dahinya,

Brugh!

"Uhuk Uhuk!!"

Detik itu juga ketegangan menyelimuti raga Diora, membuatnya mematung terbatuk. Seolah tengah menyesali keterlambatannya menyadari si pelaku. Sesuatu terasa jelas menyiksa pada pangkal tenggorokannya.

"Kau kemana saja huh?! Aku mencarimu astaga." Ucap seorang gadis tanpa rasa bersalah setelah berteriak begitu kencang dan kini menubruk Diora yang tengah minum.

Tetap saja, berapa kalipun gadis tak tau permisi itu mengejutkannya Diora takkan pernah bisa terbiasa jika situasinya seperti ini. Hampir saja jus itu salah masuk saluran gara-gara gadis yang kini menghambur memeluknya.

Sebelah tangannya yang bebas terangkat, menepuk keras-keras punggung gadis itu, berharap segera menyingkir dari hadapannya agar ia dapat menelan minumannya dengan tenang. Tapi gadis itu dengan kurang ajarnya justru memarahinya,

"Heh apa kau tak tau jika aku berlarian hanya untuk mencarimu?! Dan kau justru enak minum disini?!" Ujarnya merasa tak terima akan sambutan tepukan keras itu.

Kesal, satu pukulan melayang dari Diora pada punggung gadis itu. Menimbulkan suara cukup keras kala telapak tangannya menabrak tulang punggung si gadis. Sontak membuat si gadis merintih terkejut dan melepas pelukannya begitu saja.

"Uhuk uhuk!"

Hampir saja cairan yang masih tertahan di mulutnya menyembur keluar karena keterkejutan akan reflek gadis itu. Menelan pelan jus ke dalam kerongkongannya, ia menundukkan kepala. Menghela nafas sedikit sebelum mengangkat kembali pandangannya. Menatap si pelaku kesialannya itu, ah siapa lagi jika bukan gadis itu. Dan seolah menyadari alarm bahaya yang berbunyi samar, Arin kini menatapnya dengan pandangan anak kucing sembari mengacungkan dua jari di samping pipinya. Oh ya, jangan lupakan barisan gigi rapih yang tampak tak memiliki dosa itu. Dalam kepalanya, Diora bersumpah siapapun yang melihat itu hanya ingin membungkus Arin dalam karung goni dan membuangnya di tepian Amazon.

Menarik nafas pelan, di netralkannya tatapan tajam itu. Meski tak berguna untuk mengubah tatapan diamnya. Ironinya cengiran Arin justru melebar, hingga membuat mata gadis menyipit. Tak terpengaruh dengan mata tajam Diora yang ingin mengulitinya sekarang juga.

"Astaga, tampaknya Korea pilihan terbaik daripada aku mati tersedak ditubruk olehmu Arin." Desis Diora sebal. Kesal karna Arin masih memamerkan cengiran diantara kemarahannya.

Menyudahi ekspresinya itu, Arin mengangkat bahu, mengelap peluh di dahinya lantas ia berkacak pinggang.

"Yayaya, maaf maaf itu reflek Diora. Ayolah... Aku berlarian hanya untuk mencarimu dan kau begini menyambutku. Kau membuat hatiku terluka Diora." Ucap Arin, sedikit mendramatisir kalimat akhirnya itu.

Sukses membuat Diora memutar matanya lelah.

"Dan aku bisa mati terkena serangan jantung karena reflek mu itu? Baiklah aku akan menyambutmu, dalam wujud arwah yang tentunya membuat kau menjerit-jerit ketakutan dan akhirnya terkena serangan jantung, menyusul mati bersamaku. Ide bagus bukan?" Jawab Diora sarkas.

Friend ZoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang