"Yakin? Apa tak apa? Bagaimana jika kita bertukar minuman? Rasanya aku tak enak hati membelikanmu minuman seperti itu."
Belum saja kuajukan jawaban, gelas penuh berisi teh manis dingin di depanku telah berganti dengan gelas berisi cairan kehijauan yang telah berkurang sedikit. Mataku berkedip beberapa kali sembari mencerna apa yang terjadi barusan. Bergantian memandangi gelas milikku dan Ares di depan ku.
"Apa?"
Bahkan laki-laki itu telah minum minuman milikku dengan santainya di sana.
"A -aa T-Tapi itu -"
Lidahku tiba-tiba kelu untuk melanjutkan kalimat. Apa yang ia pikirkan dengan menukar minuman begitu saja. Bagaimanapun juga jus ini sudah diminum olehnya dan es teh itu tadi kuminum biar sedikit. Dan dia baru saja meminumnya dari sedotan yang ku pakai lalu sedotan itu-
Mataku membulat menebak ujung dari pikiranku sendiri. Tanpa terkontrol sama sekali, pipiku terasa panas sesaat, dan bodohnya aku. Pipiku justru memerah kala mataku masih melihat siswa bernama Ares itu.
Sontak, lelaki itu mendengus geli melihatku. Entah apa yang dipikirkannya,
"Ah, begini saja..."
Laki-laki itu mengganti sedotan yang ada di gelas jusnya dengan sedotak baru dari sebuah gelas di tengah meja kami.
"Lebih baik kan?" Tanyanya sembari tersenyum dan meletakkan sedotan bekasnya tadi di dekat gelas teh yang mungkin sekarang di klaim miliknya.
Aku terdiam, tak mengerti dengan maksud tindakannya selama beberapa saat. Hingga akhirnya aku sadar kala cengiran geli itu telah kembali terpatri di wajahnya.
Jadi dia tau apa yang kupikirkan barusan?!
Seketika mataku terpejam dan menggeram kesal dalam hati. Sebelum akhirnya kembali membuka mata dan berdehem untuk mencairkan kecanggungan. Ya, kecanggunganku sendiri. Bahkan Ares seperti tak tau malu dengan sikapnya sedari tadi, ia justru tengah tersenyum di sana. Entah apa maksudnya, yang jelas kali ini aku malu.
Astaga, hari pertamaku.
"Apa?"
Kini giliran aku yang bertanya balik dengan nada sebiasa mungkin, ah tidak juga sebenarnya. Nada itu justru terkesan sedikit datar. Dan sialnya Ares malah melebarkan cengirannya. Baiklah, aku ingin cepat-cepat pergi dari sini sekarang. Sepertinya memang bukan ide bagus diantar oleh anak ini untukku. Entah aku yang sial atau memang takdir? Lupakan
Memilih membiarkannya kuminum jus di depanku dengan tenang.
"Jadi, kau tak berpikir macam-macam kan sekarang dengan sedotan baru itu?"
"Hm? Oh! Uhuk uhuk..."
Sontak saja aku terbatuk mendengar pertanyaannya. Astaga, kenapa dia harus menyinggungnya saat aku sedang minum.
Memukul dadaku pelan, batukku mulai mereda sesaat sembari menatap tajam pada cengiran geli di wajahnya itu. Bahkan tanpa rasa bersalah ia kembali meminum tehnya dengan tenang. Makhluk apa yang ada di hadapanku sekarang Ya Tuhan.
"Macam-macam? Bahkan apa yang kau pikirkan tentangku belum tentu benar, bukan?"
Di luar dugaan, rupanya aku justru berniat menyangkal anggapan dari laki-laki itu. Ini parah, bagaimana bisa aku bertindak memalukan seperti ini Diora. Mengabaikan bisikan halus dari malaikatku, rupanya gengsiku jauh lebih besar saat ini. Meskipun alih-alih menyelamatkan hari pertama, aku mungkin akan semakin menghancurkannya. Baiklah, rancang saja rencanaku sendiri di sini. Mulai hari esok, aku berjanji tak akan menemui pemuda bernama Ares ini. Untuk apa? Tentu saja menyelamatkan harga diriku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend Zone
Teen FictionRasa suka dan nyaman hanyalah berbeda tipis, jadi kau pilih yang mana? Hanya kisah kecil dari orang orang yang merasakan masa remaja, pertemanan, dan perasaan yang selalu berkaitan.