Menyusul langkah cepat Arin, ku percepat tapakan kakiku. Entah kenapa ia ingin membawaku sampai menggandengku terlampau erat. Atau justru lebih pantas disebut menyeret. Tidakkah tindakannya sedikit berlebihan? Pikirku.
"Arin," panggilku. Aku mendengus mendapati deheman darinya. Yang bahkan ia lakukan tanpa menoleh sedikitpun!
"Arin!" Kali ini tak ada jawaban.
"Hey, kau memperlakukan siswi baru ini dengan kasar, yah? Lepaskan aku," ujarku kesal. Arin berdecak,
"Kau bukan murid baru, Dio. Kau hanya mengikuti pertukaran pelajar lalu kembali saat masa belajarmu di Korea habis," cibir Arin. Aku memutar bola mata, enggan menjawab sebab ucapannya memang benar adanya.
Daripada itu, ada satu hal yang menggangguku. Apa yang tengah terjadi pada temanku ini? Arin mengajakku mengunjungi perpustakaan? Dan lagi di jam kosong? Yang benar saja. Apa selama aku tak ada di Indonesia gadis ini mendapat pencerahan?
Itu berlebihan, Dio.
Aku tau benar Arin tak terlalu menyukai buku-buku di perpustakaan. Lalu, kenapa ia memilih Kelas Bahasa? Jangan bertanya padaku, tingkat kemiringan gadis itu memang perlu dipertanyakan.
Kembali ke topik, kenapa dia menyeretku ke perpustakaan. Untuk mencari novel? Sepertinya tidak mungkin, setauku perpustakaan sekolah ini tak banyak menyediakan buku fiksi itu. Jika Arin berniat mencari benda itu, aku yakin ia akan pergi ke toko buku tanpa perlu menyeretku.
Mungkin jika Arin berkata semua novel di perpustakaan pernah dibacanya aku akan mengangguk percaya. Ia bahkan pernah menjelajah berbagai macam toko buku di 3 kota hanya untuk sebuah novel. Baca ini, sebuah novel. Jadi coret saja dugaan awalku itu.
Dan hal lainnya, ini jam kosong. Seorang Arinda Joshinta pergi ke perpustakaan saat jam kosong? Yang ini lebih tak mungkin lagi. Aku percaya ia akan memanfaatkan waktu untuk tidur, duduk tenang sembari membaca setumpuk novel dengan earphone di telinga, atau menulis deretan ide miliknya.
Tapi nyatanya, gadis di depanku ini benar-benar Arin yang ku kenal. Sekali lagi ku katakan, ia menyeretku ke perpustakaan saat jam kosong?!
Apa yang sudah ku lewatkan selama setahun lebih?
Manikku mengerjap cepat sembari menggeleng, berusaha menyadarkan diri. Bukankah lebih baik aku diam dan melihatnya saja, daripada berspekulasi tak jelas seperti ini? Beberapa saat kemudian, aku mendengus pelan.
Kenapa aku masih memikirkannya?
Rasanya seperti tengah mengejek diri sendiri. Karena pada kenyataannya aku tak bisa mengalihkan pikiran dari keanehan tingkah Arin.
"Ah!"
Aku tersentak, hampir saja menabrak punggung Arin yang berhenti mendadak. Ia berbalik, menatapku dengan senyuman lebar,
"Kita sampai, Diora!" Serunya riang.
Kepalaku mendongak, menatap pintu kayu besar berdaun dua di depan kami sekarang. Papan yang bergantung manis di sana menunjukkan tulisan 'Perpustakaan' . Aku mendengus,
"Aku tau ini perpustakaan, Arin. Kau pikir aku lupa mengenai sekolah lamaku, huh?" Gadis itu terkikik pelan,
"Siapa tau kau sudah lupa. Jangan berpikir aku melupakan kebiasaan blank-mu," ujarnya sembari memainkan telunjuk di depan wajahku. Ia tertawa ketika aku menyingkirkan jari itu dengan tatapan datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Friend Zone
Teen FictionRasa suka dan nyaman hanyalah berbeda tipis, jadi kau pilih yang mana? Hanya kisah kecil dari orang orang yang merasakan masa remaja, pertemanan, dan perasaan yang selalu berkaitan.