4. Sahabat, I am Sorry...

88 3 0
                                    

Ok guys

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ok guys..... Lanjut lagi ya.. 😉

Seperti janjiku pada Iqbal tadi siang, selesai shalat ashar aku bergegas ke tempat pertandingan Iqbal. Tiba disana pertandingan sudah mulai, aku mengarahkan pandangan keseluruh penjuru mencari Iqbal dan aku menemukannya berdiri di samping kursi yang tidak jauh dariku sambil memegang tin minuman.

"Hoi..!" seruku sambil menepuk punggungnya dengan handbag. Iqbal terkejut lalu menoleh kearahku. Tin minuman yang dipegangnya terjatuh.

"Ya Allah, Andini, bisa nggak sih berhenti membuat jantungku hampir copot? Udah nggak pake salam lagi," marah Iqbal dengan nada geram. Sesekali tangannya mengusap dadanya sambil mengheka nafas. Kelakuannya membuatku tertawa.

"Hahaha.. Iya,,iya. Assalaamu'alaykum tuan Iqbal Hakim," kataku sambil tertawa.

"Wa'alaykumussalaam, nah gini kan bagus." Sahut Iqbal.

Tiba-tiba.. PUK..!!

"Aduh..!" jeritku sambil mengusap kepalaku yang diberi 'hadiah toya-toya' oleh Iqbal.

"Lain kali diulang lagi ya, besok-besok aku bakalan kasih hadiah yang lebih besar," kata Iqbal sambil menatapku sambil cengar cengir.

Aku membalas tatapannya dengan kesal lalu mencibir. Iqbal lalu menggelengkan kepalanya sambil tertawa pelan.

"Aku kira kamu nggak jadi datang," kata Iqbal sambil menarik kursi lalu mempersilahkanku duduk.

"Mana bisa nggak datang, ntar ada orang yang ngambek sampe nggak ingat dunia kalo aku nggak datang, aku nggak pandai membujuk big baby," ujarku sesuka hati. Iqbal mengerling kesal, lalu PUK..!!

"Adoooi,, sakit tau," kesalku.

Sekali lagi aku mengusap kepalaku yang ditutupi kerudung akibat 'hadiah toya-toya' Iqbal. Iqbal cuma diam dan dengan rasa tanpa bersalah karena memukul kepalaku dengan tin minumannya dia mengambil tempat duduk disebelahku.

"Kapan giliranmu?" tanyaku.

Aku melemparkan pandangan ke pemain yang sedang bertarung. Keduanya sama-sama memakai sabuk hitam.

"Sebentar lagi, jika salah satunya menang, maka dialah yang akan jadi lawanku." Jawab Iqbal. Aku melirik obi yang dipakainya, hitam.
(Author: Oh ya, sedikit perkenalan tentang taekwondo, Obi/sabuk dalam taekwondo ada tingkatannya lho, mulai dari putih, kuning, hijau, biru, merah dan terakhir adalah hitam. Sabuk hitam melambangkan kematangan penguasaan taekwondo).

"Andini," satu suara terdengar dari belakangku. Aku terkejut mendengar suara yang memanggil namaku.

'Amdi, kenapa dia disini?' tanyaku dalam hati.

Serentak aku dan Iqbal menoleh kebelakang. Suara tepuk tangan penonton bergema saat salah seorang petarung berhasil mengalahkan lawannya.

"Am, mimpi apa kamu datang ke sini?" tegur Iqbal.

"Nggak ada, cuma mau lihat sampe dimana kemampuanmu dalam bela diri," sahut Amdi dengan senyum sinis.

"Well, Enjoy the show then. Aku pinjam Andini dulu ya," kata Iqbal sambil membalas senyuman sinis Amdi dengan senyuman manis.

"Bentar, siapa yang ngizinin kamu minjam dia?" Amdi mendekati kami.

"Nggak lama kok, lagian dia sahabatku jadi kamu nggak usah cemburu." Kata Iqbal sambil menepuk bahu Amdi.

"Aku nggak ngizinin dia dekat dengan laki-laki manapun, meski sahabatnya. Aku hanya ingin dia ada bersamaku." Bidas Amdi sambil menolak tangan Iqbal dari bahunya.

"She's mine," sambung Amdi sambil menatapku tajam. Melihat situasi seperti ini aku terpaksa mengalah.

"Okay fine. Aku ikut denganmu," kataku sambil menghela nafas panjang.

"Iqbal, maafin aku ya," ucapku dengan rasa bersalah pada Iqbal.

"Nggak papa, kalo gitu aku pergi ya, sekarang giliranku,"

Iqbal tersenyum tawar lalu mengambil langkah menuju arena pertandingan. Aku tahu dia pasti kecewa karena disaat gilirannya tampil aku malah memilih mengikuti Amdi.

"Dari tadi kek," kata Amdi sambil manatap sinis ke arah Iqbal yang pergi. Aku nggak habis pikir dengan sikap Amdi.

"Kamu benar-benar jahat, ya. Kamu suka melihatku sengsara. Kamu udah nyebar fitnah sekarang kamu malah membuat sahabatku satu-satunya ikut membenciku.

Kamu puas???" luahku dengan amarah yang membara. Aku nggak peduli jika semua orang membenciku tapi hatiku tambah hancur disaat Iqbal ikut membenciku karena Amdi.

"Memang itu tujuanku yang sebenarnya, membuatmu sengsara. Asal kamu tahu ya, hatiku sakit jika melihatmu bahagia. Ayo pulang!" perintah Amdi sambil menarik tanganku. Aku menarik tanganku.

"Nggak mau, pergi aja sendiri." Bantahku sambil menyeka airmata.

"Oh, jadi Iqbal lebih penting daripada aku?" tanya Amdi sambil melotot marah.

"Memang, dia lebih penting daripada kamu, dia sahabatku dan kamu bukan siapa-siapa dalam hidupku." Jawabku dengan berani.

Amdi mengertakkan giginya dan mengepal tangannya dengan kuat. Aku tahu dia pasti marah karena aku sudah melawan perkataannya.

"Baik, mungkin dia lebih penting juga daripada nyawa ibumu. Silahkan duduk disini dan tunggu tunggu panggilan kalo ibumu akan dikuburkan," ancam Amdi seraya meninggalkanku.

Mendengar ucapannya aku tidak dapat berbuat apa-apa selain mengikutinya. Aku mengerling Iqbal yang turut melihatku meninggalkan kursi penonton. 'Iqbal, maafkan aku' kataku dalam hati.

*******

BAHAGIANYA DERITAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang