6. Milad

79 3 0
                                    

Seperti biasa, hari ini aku ke kampus. Datang, duduk dan diam tanpa berminat mendengarkan penjelasan dosen memang kebiasaanku akhir-akhir ini. Aku hanya berminat mengerjakan tugas apabila disuruh. Tidak ada yang berbeda hari ini, hanya saja kesepianku bertambah karena Iqbal nggak lagi mau bicara padaku. Aku duduk dibawah pohon sambil memandang orang yang berlalu lalang disekitar kampus. Dulu sebelum mengenal Adnan pulang dari kampus aku langsung pergi kerja, menjadi tutor bagi anak SD memang pekerjaanku sambil kuliah. Tapi itu dulu, sekarang nggak lagi setelah Amdi mengikatku dengan rantai dendamnya.

Sedang aku istirahat dengan tenang tiba-tiba sebuah benda kecil mengenai kakiku yang hanya mengenakan stocking. Sepatu kulepaskan supaya kakiku bisa rileks. Aku menoleh lalu melihat Amdi berjalan kearahku dengan wajah marah. Kurasa aku nggak berbuat kesalahan, tepi kenapa dia keliatan marah?

"Ternyata disini," katanya.

"Ada apa?" tanyaku sambil mengernyitkan dahi. Bingung melihatnya yang tiba-tiba datang dengan wajah menyinga. Bentar lagi dia pasti mengaum..

"Kau tau hari ini tanggal berapa?" tanya Adnan sambil membentak. Benarkan,, aku dah bilang dia pasti mengaum.

"5 Januari, kenapa?"

"Kamu lupa ya hari ini hari apa?" tanyanya lagi.

Aku rasa hari ini merupakan hari yang paling menyedihkan karena kehilangan sahabat.

"Hari apa? Hari sabtu, kenapa sih?" tanyaku sedikit kesal.

Nggak mungkin dia nggak tahu hari ini hari apa kan? Aku memandang langit yang kian mendung seakan-akan ikut merasakan hatiku yang menangis.

"Bodoh, kamu udah pikun apa, hah? Kan aku udah bilang dulu kalau hari ini hari penting bagiku, dan aku paling nggak suka kalo ada yang merusak mood aku dihari istimewaku. Jadi, kamu berhasil membuat moodku buruk dan kamu akan terima hukumannya!" marah Amdi, dia terus pergi dengan wajah masam. Suara petir menyambar diiringi gerimis yang berjatuhan.

"Amdi, tunggu..!" teriakku sambil berlari mengejarnya.

Tapi dia terus melangkah tanpa menoleh sedikitpun dan tidak menghiraukan hujan yang mengguyur tubuhnya, lalu membuka pintu mobil dan meninggalkanku yang basah kuyup mengejarnya. Spontan aku ingat sesuatu.

"Ya Allah,, aku lupa hari ini ulang tahunnya,"

aku menepuk jidat menyadari kesalahanku. Aku terus berlari menuju halte dan menunggu bus.

*****

"Masyaa Allah, Zah. Kok kamu basah kuyup gini sih?" tanya Mila saat aku tiba di kos.

Mila meletakkan nasi goreng lalu membuka celemek yang menandakan dia baru saja selesai memasak. Aku hanya diam dan membuka stocking yang basah. Mila berlari ke kamar mandi dan kembali dengan handuk ditangannya.

"Aku kan bisa jemput kamu, kenapa kamu nggak menelpon? Lihat, sekarang kamu udah kayak gini kan, basah semua, ntar kamu demam gimana coba," kata Mila sambil membalut tubuhku yang kegigilan dengan handuk. Kemudian dia menyodorkan segelas air hangat yang entah dimana dia ambil. Aku mengangguk sambil duduk lalu menyambut gelas lalu menghabiskan isinya.

Aku memang beruntung memiliki roommate yang memiliki jiwa penyayang dan peduli seperti Mila, kadang aku merasa dia seperti kakak yang memarahi adiknya yang nakal. Hanya saja aku enggan untuk berbagi cerita padanya karena dia type yang terlalu terbuka hingga untuk curhat saja aku berpikir dua kali, ntar dia kecoplosan dalam bicara lagi.

"Udah nggak papa, aku mandi dulu. Makasih ya," kataku sambil tersenyum. Mila menggeleng-gelengkan kepalanya pertanda kesal.

"Cepatlah, habis mandi kita makan ya, aku tunggu,"

Mila menutup pintu dan mencapai laptop yang terletak di sofa. Aku menganggukkan kepala lalu menuju kamar mandi. Habis mandi aku bukannya makan tapi malah tidur karena kepalaku pusing.

*****

Aku berjalan mengelilingi seisi toko yang khusus menjual hadiah. Mataku terpaku melihat sebuah teddy bear jantan yang mengenakan jam tangan. Tanpa menunggu waktu aku langsung mencapai boneka yang dua kali lebih besar dari pergelangan tangan tersebut. Kemudian aku menuju toko Bakery dan membeli kue tart kecil tanpa lilin. Aku masih ingat waktu itu ustadz Hamdi menjelaskan seputar perayaan ulang tahun, dia bilang acara tiup lilin merupakan kebudayaan orang majusi. Karena itulah aku memutuskan membeli kue tart biasa tanpa lilin.

Drrt... drrrt... Hp ku bergetar. Aku meraih beda kecil tersebut lalu melihat sebuah pesan.

'Bersiap 20 menit, aku akan sampai'
aku membaca pesan dari Amdi.

Mataku membulat membaca pesannya, tanpa babibubebo aku langsung menghentikan sebuah taksi dan naik kedalamnya. Tidak sampai 20 menit aku sudah sampai. Aku tidak melihat Mila di kos.

Dengan tergesa-gesa aku mengganti pakaianku. Tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Ternyata Amdi sudah sampai. Aku terpaksa membiarkan Amdi diluar karena aku belum memakai kerudung. Belum selesai memakai kerudung Amdi mengetuk-ngetuk pintu dengan kuat. Mau tak mau aku terpaksa berlari untuk membukakan pintu.

"Kenapa lama?" tanya Amdi marah.
Ditangannya terdapat sebuah tas kertas.

"Sabar, bentar lagi udah selesai nih. Aduuh.."

Aku kelabakan menutup rambutku yang jatuh bergerai dibalik kerudung dikarenakan kerudungku belum diberi pin. Amdi menatapku dengan heran lalu berubah menjadi sinis.

"Kenapa? Takut auratmu keliatan?" tanyanya dengan sinis.

Aku hanya diam dan menundukkan pandangan. Amdi mengeluarkan sesuatu lalu menutupi wajah dan kepalaku.

"Pakai itu," perintahnya. Kudengar pintu berdecit.

Aku meraih kain yang menutupi wajahku dan melihat pintu tertutup. Ternyata Amdi menutup wajahku dengan kerudung. Aku mengambil tas kertas yang terletak di depanku lalu melihat sebuah gamis hijau tosca di didalamnya.

'Tumben dia beli baju buatku,' monologku dalam hati.

Aku menyingkapkan tirai jendela untuk memastikan keberadaan Amdi. Lalu aku memakai pakaian yang dia berikan.

*****

BAHAGIANYA DERITAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang