7. Hukuman

73 4 0
                                    

"Cepat naik," kata Adnan begitu aku selesai mengunci pintu.

Adnan membuka pintu dan aku masuk kedalam mobil. Kita mau kemana?" tanyaku.

"Mati," jawabnya datar.

Aku membelalakkan mataku.

"Kalo mau mati nggak usah ngajak-ngajak, udah. Aku turun aja." Kataku dan membuka pintu.

"Kamu jangan bawel kenapa, sih," bentak Adnan sambil menarik tangan kananku hingga membuatku kembali duduk.

"Diam atau aku akan marah," Aku hanya menurutinya.

Selang 10 menit Adnan menghentikan mobil di taman yang berdekatan dengan kampus. Ketika dia hendak keluar aku memanggilnya.

"Apa lagi?" tanya Adnan dengan garang.

Aku mengeluarkan bingkisan yang berisi kue tart dan teddy bear jantan lalu menyodorkannya dengan tangan yang gemetar. Takut, itu yang kurasakan saat ini.

"Aku minta maaf karena melupakan hari kelahiranmu, aku hanya bisa memberimu ini," kataku dengan takut.

Dia keluar dari mobil sambil memeriksa isinya. Aku pun ikut keluar dan melihat Ryan sudah disana dengan sebuah ember ditangan.

"Apa-apaan ini? Teddy bear jantan? Kamu pikir aku ini masih bocah apa?"

Adnan langsung melemparkan boneka itu.
Nafasku tersekat melihat sikapnya.

"Kue tart? Aku bisa membelinya lebih dari ini," katanya lagi sambil membuang kue hingga berserakan di tanah. Aku tidak bisa menahan airmataku lagi.

"Ryaan!" seru Adnan tanpa memandang Ryan.

"Okay," sahut Ryan.

Perlahan Ryan mendekat dan dengan sigap Ryan mengangkat ember lalu menuangkan isinya ke wajahku kemudian mengalir membasahi pakaianku.

"Apa ini?" tanyaku dengan suara yang kuat. Bau amis dari cairan merah kental membuatku mual dan muntah.

"Ooo.. itu darah kambing segar, wangi? Itu sebagai hukuman karna kesalahanmu," jawab Adnan sambil memamerkan wajah bengisnya.

Sedangkan Ryan tertawa terbahak-bahak. Aku menyeka darah diwajahku dengan tangan. Orang-orang memandangku dengan pandangan yang bermacam-macam.

"Tunggu apalagi? Pulang sana!" kata Adnan.

"Apa? Pulang? Mana bisa aku pulang dalam keadaan begini?" bantahku.

Taksi mana yang akan bersedia menumpangkanku dalam keadaan bau busuk begini.

"So, kamu berharap aku akan mengantarmu? Never!" balas Adnan sambil bersedekap.

Aku yang malu menjadi bahan perhatian langsung berlari meninggalkan mereka sambil menangis. Aku memilih berjalan kaki ketimbang naik taksi, lagi pula maghrib gini pasti jalanan nggak ramai.
Banyak mata yang melihatku yang berlari seperti orang gila tapi aku nggak peduli.

Tiba-tiba sebuah mobil warna silver berhenti disampingku. Dengan pintas aku menjauh dari mobil.

"Ya Allah,, Zahra, kamu Zahra kan?" tanya sebuah suara yang sangat kukenal. Aku menoleh dan mendongakkan wajah melihat pemilik suara.

"Iqbal," gumamku lirih.

"Kamu kenapa?" tanya Iqbal dengan nada cemas.

"Ada orang yang menyiramku dengan darah kambing, tapi aku nggak tau siapa orangnya," bohongku.

Aku takut mengatakan hal yang sejujurnya karena Iqbal pasti marah dan berkelahi dengan Adnan.

"Haish... ini pasti ulah fansnya Adnan, cepat masuk. Udah maghrib, nih."

"Ta.. Tapi... nanti mobilmu kotor,"

"Itu nggak penting, kamu lebih penting dari pada mobil. Cepatlah, beruntung aku melihatmu." Kata Iqbal sambil membukakan pintu dan setelah aku masuk Iqbal menutupnya kembali.

"Nah, lap wajahmu," Iqbal menyodorkan kotak tissue yang ada di laci mobil lalu mengemudi.
Aku menyambutnya lalu membersihkan wajahku. Aroma darah dan perutku yang kosong membuatku mual.

"Berhenti!" kataku sambil memegang perut.

Iqbal langsung menghentikan mobil. Aku membuka pintu lalu berlari ke tepi jalan lalu muntah. Iqbal mematikan mobil lalu menyusulku.

"Kamu belum makan, ya?" tanya Iqbal.

Dia membungkuk dan memberiku sebotol aqua. Aku menganggukkan kepala, lalu berkumur-kumur.

"Malam ini kamu nginap dirumahku aja, ya. Kebetulan kak Arif lagi dirumah," kata Iqbal.

Aku langsung mengangguk tanda setuju. Dengan tubuh lemas aku berusaha bangkit dan berjalan menuju mobil.

BAHAGIANYA DERITAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang