14. Salah Faham

79 3 0
                                    

"Andini, bangunlah. Andini,, Andini,"

Samar-samar aku mendengar suara yang familiar memanggil namaku. Perlahan-lahan aku membuka mataku dan melihat seseorang yang berdiri disampingku sambil mengguncang-guncang sekujur tubuhku. 'Amdi?'

"Dimana ini?" tanyaku sambil memandang sekeliling ruangan berwarna putih. Aku melihat punggung tangan kiriku di infus dan hidungku disumbat sesuatu. Ini bukan kamarku.

"Ini di rumah sakit, kamu jatuh dari tangga dan pingsan lantaran kehilangan banyak darah," jelas Iqbal. Sambil mengusap rambutku. Tunggu, rambut? Dengan pintas tangan kananku meraba kepala. Benar, kerudungku nggak ada.

"Kamu mau apa?" bentakku. Aku menatap Amdi dengan tajam.

"Apa maksudmu?" Amdi bertanya balik.

"Kerudungku mana!!" seruku dengan marah.

Walaupun dia suamiku aku nggak pernah menampakkan rambutku padanya kecuali waktu itu. Amdi lalu meraih sesuatu dalam tas hitamnya dan melemparkannya padaku.

"Pakai ini aja, aku hanya sempat ngambil yang ini," katanya.

Tanpa menjawab aku langsung menyarungkan kepalaku dengan kerudung yang diberikannya.

"Lain kali kalo jalan jangan pake lutut, tapi pake mata. Allah ciptain mata buat melihat. Nyusahain aja, kamu kira kamu ini superwomen yang bisa terbang? Bego banget sih jadi orang," marah Amdi dengan menatapku tajam. Dia meraih jemari kananku lalu memberinya obat.

"Nggak usah peduli, toh kamu juga niatnya mau bunuh aku kan? Lagian ngapain kamu bawa aku kesini segala?" jawabku kesal.

"Haish,," Amdi mendesah dengan geram lalu mengangkat tangannya seolah-olah mau memukulku, tapi nggak jadi.

"Untung aja kamu sakit, kalo nggak kamu udah dapat 'hadiah toya-toya' dariku," katanya dengan kesal.

"Apanya yang untung? Kenapa kamu nggak biarin aku mati aja sekalian," bentakku.

Entah kenapa aku nggak bisa diam.

"Yang bener aja, kalo kamu mati disitu karna jatuh dari tangga artinya kamu mati bukan karna aku. Jadi itu akan sia-sia. Aku ingin kamu mati dalam keadaan sehat walafiat. Dengan begitu hatiku akan puas,"

Lagi-lagi Amdi mengeluarkan perkataan yang menyakitkan hati. Lalu dia pergi meninggalkanku yang terbaring lemah.

"Aku benci kamu!!!" teriakku sekuat tenaga.

Amdi berhenti melangkah lalu menatapku dengan pandangan yang terkesan,,,sedih. Aku menyapu airmataku.

Tiba-tiba pintu terkuak dan terlihat Iqbal dan Mayada datang memasuki ruangan.

"Lho, Andini udah sadar, udah lama?" tanya Mayada sambil mengambil tempat disampingku. "Baru aja," jawabku perlahan.

"Udah gimana? Masih sakit?" tanya Iqbal sambil mengeluarkan buah jeruk dari kantong plasti diatas meja lalu mengupasnya.

"Udah mendingan kok, ummi mana?" tanyaku.

Seketika tangan Iqbal berhenti mengupas kulit jeruk lalu memandang Mayada. Aku dapat merasakan sesuatu yang buruk telah terjadi.

"Iqbal, May, ummi kenapa?" tanyaku cemas. Aku takut ummi kenapa-napa.

"Kamu minum dulu biar tenang," alih Iqbal. Mayada mengambil segelas air lalu menyodorkannya padaku. Aku menolak dengan lemah.

"Kalo gitu makan ini aja," Iqbal menyodorkan jeruk yang dikupasnya tapi aku juga menolak.

"May, ummiku kenapa? Ummi dimana sekarang? Ummi nggak papa kan?" tanyaku bertubi-tubi.

Mayada hanya diam lalu menatap Iqbal dengan pandangan yang sukar ditafsirkan. Aku langsung berdiri dan tiba-tiba kepalaku berdenyut sakit. Aku segera berpegangan pada tiang infus.

"Ya Allah, Andini kamu mau kemana? Tenang aja dulu. Kamu kan lagi sakit," cegah Iqbal panik. Mayada memegang kedua lenganku lalu mendorongku ke tempat tidur.

"Jawab!! Ummi kenapa? Apa yang terjadi?" teriakku histeris. Airmataku berlinang di pipi.

"Ummi ada di ruangan ICU, dia dalam keadaan kritis," jawab Mayada dengan nada ketakutan.

Hatiku hancur berderai mendengar jawaban Mayada. Aku baru saja melihat ummi dalam keadaan sehat dan sekarang ada diruangan ICU.

"Mayada pasti bercanda.May, kamu bercanda kan?" tanyaku. Mayada diam mematung. Kemudian aku menarik kemeja yang digunakan Iqbal.

"Iq, May hanya bercanda, kan? Ummi nggak sakit kan?" tanyaku memastikan walaupun aku sudah tahu mereka serius. Perlahan Iqbal menggeleng dengan sedih.

"Sabar ya, An," kata Iqbal.

Kejujuran terserlah dari wajah Iqbal yang menatapku sendu. Aku membekap mulutku dengan telapak tanganku. Aku tidak percaya. Aku menangis tersedu-sedu. Seketika aku menyadari sesuatu.
Amdi!.

"Aku udah tau sekarang. Dia memang penipu!!"

Aku langsung mencabut infus yang berada di tangan kiriku dan saluran oksigen yang melekat dihidungku. Luka ditanganku yang berdarah kembali nggak kupedulikan. Sorot mataku berubah dengan tatapan yang tajam dan penuh kebencian. Aku harus selesaikan ini dengan Amdi sekarang juga. Dia membohongiku. Dia mengingkari janjinya akan melepaskan ummi jika aku bersedia mengikuti semua permainannya.

Aku melihat sebuah gunting terletak diatas meja alu meraihnya dan terus berlari keluar mencari Amdi. Akalku menjadi tidak waras seketika. Dari jauh aku melihat Amdi sedang duduk dikursi tunggu. Aku berjalan mendekatinya, melihatku yang berjalan kearahnya Amdi segera bangun dan tersenyum. Aku berlari kedalam pelukannya dan JLEB...!!

Aku menikam perut Amdi lalu melepaskan pelukan sambil menatapnya dengan penuh benci. Amdi terkaku dan memegang perutnya yang mengeluarkan darah.

"Kenapa?" tanyanya dengan menahan rasa sakit.

"Aku udah bilang aku bersedia menggantikan tempat ummi, kamu bisa mempermainkan nyawaku tapi kamu nggak akan bisa mempermainkan nyawa orang yang melahirkanku. Kamu bilang kamu nggak akan mempermainkan nyawa ummi karna itu aku menuruti apa katamu, tapi apa??"

Aku menendang Amdi yang rebah ke lantai. Entah apa yang merasukiku hingga dengan mudahnya aku membuat Amdi seperti ini.

BAHAGIANYA DERITAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang