2. Luka dan pengobatan

174 5 0
                                    

Andai saja aku bisa memberitahu Iqbal bahwa sebenarnya aku nggak pernah mencintai Amdi, buat apa coba aku berkorban untuk orang yang nggak kucintai, tapi aku terikat, terikat dengan penjara yang dia ciptakan untukku

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Andai saja aku bisa memberitahu Iqbal bahwa sebenarnya aku nggak pernah mencintai Amdi, buat apa coba aku berkorban untuk orang yang nggak kucintai, tapi aku terikat, terikat dengan penjara yang dia ciptakan untukku. Kalau hanya aku yang terlibat aku nggak peduli, tapi masalahnya bukan diriku saja.

"Andini, bangun Andini, ibumu memanggil, nih."

Mila, teman sekamarku memanggil-manggil dan menggerak-gerakkan bahuku. Aku tersadar lalu duduk.

"Ada apa, Mila?" tanyaku sambil mengucek-ngucek mata.

"Ada telpon, nih. Dari ibumu." Katanya sambil menyerahkan ponselku yang berwarna putih.

"Assalaamu'alaykum, ummi, maaf tadi aku tertidur." Kataku setelah menekan tombol hijau.

"Wa'alaykumussalaam, sayang. Nggak apa-apa, ummi faham kok kamu pasti capek kan? Ummi cuma mau nitip pesan kalo kamu ketemu dengan Amdi, bilang ama dia terimakasih karena udah mau beliin ummi obat demam. Dia baik banget." Kata ummi.

Obat demam? Kenapa dia nggak bilang
sama aku tadi, ya? Ya Allah, permainan apa lagi ini?

"Tunggu! Ummi jangan minum obat itu lagi, sebentar lagi aku kesana sekarang. Assalaamu'alaikum."

Tanpa menunggu jawaban dari ummi aku langsung mematikan panggilan dan langsung bergegas ke rumah. Sekitar 30 menit aku sudah sampai dirumah.

"Obatnya mana, mi? Berikan..!"

Tanpa memberi salam aku langsung menerobos kedalam rumah, aku menebarkan pandangan ke seluruh isi rumah, kakiku melangkah dengan cepat menuju meja saat mataku menemukan yang aku cari lalu mengambil obat yang kuyakini pemberian Amdi dengan kasar, ummi terkejut dengan tindakanku.

"Ya Allah An.. Kamu kenapa? " ummi mengerutkan dahi tanda tidak mengerti.

"Ummi udah minum obat ini, belum?" tanyaku dengan penuh rasa was-was tanpa bermaksud menjawab pertanyaan ummi.

"Udah kok, ummi udah minum obat itu, alhamdulillah sekarang udah mendingan. Emangnya kenapa sih?"

Aku membelalakkan mataku, Ya Allah,, selamatkan ummiku.

"Apa? Ummi minum? Ya Allah!"

"Iya, kenapa sih. Kamu aneh deh, tadi Amdi nelpon ummi, dia tanya ummi sehat nggak, yaa ummi jawab ummi lagi demam, trus dia langsung datang dan bawa ummi berobat ke klinik, gitu. " jelas ummi.

"Dia sempat megang obat ini ndak, mi?" tanyaku dengan suara bergetar, aku takut dia meletakkan sesuatu yang bisa menyebabkan nyawa ummi melayang.

"Nggak, tadi dia hanya mengantar ummi ke klinik dan membayar ongkos ummi naik taksi saat mau pulang, katanya ada tugasnya yang belum diselesaikannya,"

Fuuh.. selamat. Aku menghela nafas dengan lega.

"Kamu kenapa sih, An? Kamu tau nggak, dia itu cowok yang baik, alim lagi, ummi nggak pernah liat dia ninggalin shalatnya kalo dia kesini. Ummi yakin atas izin Allah dia pasti bisa melindungi kamu, melindungi kita, nak." Kata ummi sambil memegang bahuku.

BAHAGIANYA DERITAKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang