"Bisakah kau berhenti merengek? Umurmu sudah cukup besar untuk mengerti kalau sistem asrama ini tidak bisa kau ubah sesuai kehendakmu."
Seluruh perhatian beralih padanya. Pada Jeon Jungkook yang mempertahankan argumen dengan wanita penjaga meja registrasi pagi ini. Rahang tirus remaja rupawan itu mengeras. Tidak tau harus bagaimana lagi untuk menyuarakan pendapat.
"Aku mohon." Suara beratnya terdengar parau. Tapi tidak cukup untuk meruntuhkan pertahanan si wanita berwatak galak.
"Jeon Jungkook, minggirlah. Ada banyak orang yang memiliki keluhan pagi ini. Dan kau yang paling menyebalkan. Kamarmu nomor 23. Tidak ada kamar kosong selain itu. Semua penuh. Kalau kau masih merengek minta ganti kamar, akan kupertimbangkan membuat surat pengunduran diri pagi ini juga. Kau bahkan tidak memiliki alasan jelas untuk pindah dari kamar itu!"
Sebegitunya? Jungkook menelan ludah kasar. Berat hati melangkah keluar barisan panjang yang menghujaminya dengan tatapan penasaran.
Mana mungkin Jungkook bilang pada wanita itu kalau alasan ia pindah adalah Park Jimin? Teman sekamar yang membuat adik kecil Jungkook berdiri saat memikirkan pemuda itu.
Mana mungkin Jungkook mengatakan perpindahan orientasi mendadak yang menyiksa ini adalah alasannya?Pemilik bola mata obsidian itu mengacak rambut sebal. Merutuki kegagalannya pagi ini.
"Buang pikiran itu Kook, dasar brengsek." mengumpatpun tak akan berguna. Jungkook sadar. Tapi masih melakukan karena tak tahu harus bagaimana lagi.
Sampai sebuah suara yang ia kenal memanggil."Kookie?"
Habislah aku
Park Jimin berdiri di luar ruang registrasi. Mengenali teman sekamar yang menghilang saat ia bangun pagi. Pakaian rapi dan anting berjuntai sudah menghiasi sosok menawan -sialan-nya.
Jungkook hanya terpaku di tempat."Kenapa wajahmu horor begitu?"
Suara pemuda itu membuat bulu kuduk Jungkook meremang. Park Jimin mendekat dengan wajah khawatir. Menyadari keringat sebesar biji jagung menuruni pelipis yang lebih muda. "Apa yang kau lakukan di pusat registrasi?"Sialnya, wanita tua yang membentak Jungkook habis-habisan tadi mendengar suara Jimin. Menolehkan kepala dan mendapati mereka berada di tengah pintu.
"Park Jimin? Kau kamar 23, benar?"
Suara wanita itu menarik atensi Jimin. Satu anggukan sopan diterima sebagai jawaban."Benar nyonya Yoon. Ada apa?"
Jungkook masih mematung ditempatnya. Memilah apakah ia harus kabur saja atau menarik Jimin lari bersamanya. Tapi sebelum keputusan menyinggahi kepala, wanita tua itu keburu berbicara lantang.
"Kalau kau dan Jeon Jungkook memiliki masalah pribadi, cepat selesaikan. Anak itu datang pagi-pagi kemari hanya untuk meminta pindah kamar asrama."
Dua orbs obsidian membulat. Tak menyangka wanita itu benar-benar mengatakan apa yang ia pikirkan. Bukankah ia tahu itu hanya akan menyakiti Jimin?
Melirik, Jungkook hanya mendapati ekspresi bingung dari remaja mungil. Tidak mengerti arah pembicaraan wanita yang kini memasang wajah datar."Pi-pindah?"
Sebelum kata-kata lain sempat diucapkan, tangan Jungkook lebih dulu menyeret Jimin. Menaut jari-jari mereka dengan kasar.
"Aduh! Jungkook! Sakit!"
Jungkook pura-pura tuli. Ia hanya ingin membawa Jimin jauh dari tempat itu. Tidak ingin membuat telinga tanpa dosa Jimin mendengar kata-kata pedas lebih banyak. Mereka sampai di dalam kamar 23. Jungkook melepaskan jari-jari Jimin. Sedikit merasa bersalah melihat sosok mungil meringis kesakitan.
Dasar wanita sialan. Harusnya asrama ini memperkerjakan orang yang lebih beretika.
"Kook, apa maksud nyonya Yoon tadi? Apa kau ingin pindah kamar? Apa yang membuatmu berpikir begitu?"
Park Jimin -dengan wajah imut dan menggemaskan menurut Jungkook- menghujaminya dengan pertanyaan. Dan sayang sekali, meski tahu akan berakhir seperti ini Jungkook masih tidak tahu harus menjawab bagaimana.
"Apa aku mendengkur? Kau tidak bisa tidur karena dengkuranku?"
Tawa lolos dari bibir tipis Jeon Jungkook. Tidak mengerti bagaimana cara Park Jimin berpikir.
"Kenapa tertawa? Kita baru sehari jadi teman sekamar. Tapi kau sudah mau pindah saja. Kau marah padaku?"
Meskipun mengatakan hal konyol, sepertinya Jimin benar-benar khawatir. Ia sangat senang karena akhirnya tidak sendirian. Tapi teman sekamar pertamanya malah ingin pindah di hari pertama mereka tidur bersama. Mengingat itu, mata Jimin berkaca-kaca.
'Seburuk itukah diriku sampai Jungkook saja tidak mau sekamar denganku?' kira-kira begitu isi pikiran Jimin.
"Tidak hyung, bukan begitu." Panik, Jungkook memegang kedua bahu Jimin yang sempit. "Aku minta maaf."
"Lalu kenapa kau ingin pindah?" lolos sudah air mata yang mati-matian Jimin tahan. Ia masih berusaha menahan cairan itu dengan mengucek matanya sendiri.
Sedangkan Jungkook terlalu merasa bersalah. Menyakiti Jimin adalah hal yang mendadak begitu ingin ia hindari.
Jadi tangan miliknya bergerak meraih jari-jari kecil Jimin. Membawanya ke dalam kecupan penuh arti. Si pirang terdiam ditempatnya. Tak mengerti tapi membiarkan Jungkook melakukan apa yang sedang dilakukannya.
"Jeon Jungkookie?""Alasan aku ingin pergi dari kamar ini adalah kau hyung."
Jimin mematung. Tak mengerti kemana arah pembicaraan mereka.
"Apa kau akan membenciku jika kau tau aku menjadi seorang gay karenamu?"
Bugh!
Satu tinju mendarat di pipi Jungkook. Pelakunya adalah Park Jimin. Ekspresi sendu berubah menjadi garang.
"Kau menjijikan"
Jungkook hanya bisa tersenyum getir saat tubuh pemuda kecil itu lari menjauh darinya.
"Aku juga tau perasaanku ini menjijikan hyung"
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
NORMAL (Completed)
FanficSialnya, Jungkook jatuh cinta pada teman satu kamarnya. Dan oh! Dia straight! °Kookmin °HopeV °Warn!Mature Content