Aliran lalu lintas terlihat seperti miniatur bergerak dari lantai 24. Dibalik kaca jendela besar sebuah hotel Jimin berdiri menonton aktivitas kota Seoul. Mata indahnya berusaha tertarik dengan pemandangan meski hatinya cukup gundah.
Badan kecil itu tersentak kecil saat pintu kamar tempatnya berdiam terbuka. Jeon Jungkook masuk dari sana. Matanya jeli mengamati kertas kwitansi dari kasir restoran hotel."Mereka akan mengantar makanannya dalam 15 menit. Tidak apa-apakan hyung?"
Jimin mengangguk. Berjalan menuju orang yang kini duduk di pinggiran ranjang king size yang ada tengah kamar. Langkah Jimin berhenti saat benda ditangannya bergetar.
Mereka saling bertukar pandang. Mengetahui siapa yang terus-terusan menelepon sejak mereka tiba di hotel seminggu yang lalu. Kim Taehyung.
"Dia sudah menelpon puluhan kali dan aku mengabaikannya."
Jungkook mendengar nada sendu dari bibir kekasihnya. Jimin tidak sedang dalam kondisi baik sejak mereka memutuskan untuk pergi dari asrama. Tangan Jungkook terulur menarik Jimin untuk duduk disampingnya. Ponsel itu diambil, diletakkan di sisi kosong sebelah tubuh Jungkook. Pipi gembil ditangkup, Jungkook menatap Jimin tepat dimatanya.
"Tidak apa-apa." Bibir Jimin dikecup yang lebih muda.
Jungkook tahu Jimin begitu ketakutan sekarang. Semua itu dapat terlihat dari raut wajah dan kebiasaan ia menggigit bibir bawahnya. Kepala pirang itu diusap, Jungkook menempelkan dahi mereka berdua.
"Hyung, apa yang kau pikirkan? Apa kau ketakutan?"
Jimin mengangguk. Maniknya beralih pada Jungkook yang masih berusaha menenangkannnya.
"Jangan khawatir. Aku ada disini. Kita bisa hidup berdua saja."
Beberapa kalipun ia mencoba, Jungkook tahu kalau Jimin tidak pernah benar-benar tenang. Mungkin ini adalah keputusan terberat bagi si pirang karena mereka melarikan diri dan berakhir dengan meninggalkan teman-teman serta keluarga mereka.
"Aku suka padamu, tidak. Aku mencintaimu." Jungkook berbisik lagi. Ia memeluk Jimin erat. "Percayalah padaku."
Jimin balas memeluk Jungkook. Mengusap punggung lebar kekasihnya. "Aku percaya. Tapi... kapan kita akan kembali Kook?"
Jungkook melepaskan pelukan, matanya menatap Jimin, tak yakin. "Setelah semua masalah selesai."
Jimin mengerutkan dahi. "Kita lari dari masalah dan kita tidak menyelesaikannya sama sekali. Aku yakin mereka khawatir padamu, padaku, pada kita berdua. Apa kau ingin terus hidup seperti ini? Apa kau tidak ingin kembali dan menyelesaikan semuanya?"
"Hyung, aku tidak mau kau pergi." Jungkook menjatuhkan kepalanya di dada yang lebih tua. Tidak ingin melanjutkan argumen yang setiap hari diperdengarkan Jimin. Ia sendiri tidak tahu harus bagaimana. Lari adalah satu-satunya cara yang memberi Jungkook ruang untuk berpikir. Berpikir dengan Jimin selalu berada disampingnya.
Menghela nafas. Jimin memeluk kembali tubuh kekasihnya, membiarkan Jungkook kembali menang. Mengakhiri argumen karena ia juga tidak memiliki cara untuk melawan orang tuanya. Melawan keputusan mutlak perempuan yang merupakan ibu kandungnya. Jadi ia membiarkan waktu yang menjawab. Bagaimana semua ini akan berakhir. Jimin tidak tau.
.
.
.
Tak jauh berbeda dengan suasana di tempat Jimin dan Jungkook. Di dalam gedung sekolah yang sudah sepi dua remaja masih betah duduk bersama. Dimana salah satu dari mereka terus terusan berbicara mengenai kepergian Jimin dan Jungkook. Taehyung sudah lelah menelepon. Seorang teman kecil yang biasa bertemu dengannya setiap hari kini bahkan sangat sulit hanya untuk didengar suaranya melalui telepon."Aku masih tidak percaya kalau Jimin benar-benar meninggalkan kita." Taehyung bergumam dengan bibir tertekuk. Matanya menerawang ke luar jendela kelas. Menatap awan yang bergerak cepat di langit mendung.

KAMU SEDANG MEMBACA
NORMAL (Completed)
Fiksi PenggemarSialnya, Jungkook jatuh cinta pada teman satu kamarnya. Dan oh! Dia straight! °Kookmin °HopeV °Warn!Mature Content