Only Us

7.3K 1K 86
                                    

"Kumohon buat aku jadi milikmu."

Jimin merapatkan tubuhnya pada Jungkook. Naik ke pangkuan remaja yang kini memegangi pinggangnya.
Kata-kata Jimin benar-benar menghipnotis. Jungkook tidak berpikir lagi ketika pemuda kecil itu melenguh dalam pelukan. Memagut bibir tipis dalam gerakan hati-hati, memabukkan.

Jungkook mendorong tubuh Jimin ke atas ranjang. Mengangkat sedikit sampai mereka benar-benar berada ditengah tempat tidur.
Manik mata saling bertabrakan, Jungkook mencari keraguan di dalam diri remaja yang ia cintai. Karena ia berjanji tidak akan membiarkan Jimin merasakan sakit lagi, maka dirinya juga tidak akan menyakiti pemuda itu.

Namun sedikitpun, keraguan tidak bisa ia temukan. Yang ada hanya keinginan kuat untuk menjadi satu, memiliki satu sama lain. terlebih saat Jimin mengalungkan lengan di leher jenjang Jungkook, menariknya mendekat tanpa memutus kontak mata.

Jungkook tidak bisa tidak terpana, meski berat hati menutup mata, ia tetap harus melanjutkan apa yang mereka lakukan. kepalanya turun ke bagian leher Jimin, menciumi bagian demi bagian kulit putih remaja dibawahnya. Merasa lega tiap erangan lolos dari mulut Jimin.

Perasaan tenang, sekaligus tegang mereka rasakan. Namun Jimin lebih fokus pada degup jantungnya sendiri, serta sensasi menggelitik di dalam perut. Ia lupa pada rasa sakit akibat sisa luka lebam peristiwa tempo hari. Tubuh Jimin menggeliat tak terkendali. semakin lama, semakin panas. Jungkook menyadari perubahan remaja itu dalam rasa puas.

Ujung sweater Jimin ditarik ke atas. Jungkook dengan lembut melepaskan pakaian yang Jimin kenakan. tidak ingin mendengar desis perih jikalau gerakannya mengenai luka-luka di tubuh Jimin. sambil melakukan itu, ia terus menciumi tiap inci permukaan kulit Jimin. Hingga saat semua sudah terlepas, Jungkook memilih diam melihat hasil pekerjaannya

"Jangan melihatku seperti itu."

Pipi gembil memerah. Jungkook tertawa kecil, jari-jari panjangnya terulur berselancar di permukaan kulit bertekstur satin. Dari pipi ke hidung, turun ke pipi lagi, turun ke bibir tebal yang berwarna pink kebiruan dan akhirnya berhenti di dagu Jimin.
Yang lebih tua memejamkan mata, membiarkan Jungkook melakukan apa yang diinginkan.

Ujung jari Jungkook seperti aliran listrik di atas kulit Park Jimin. Membuat tubuh pemuda yang lebih kecil berjenggit dan sesuatu dalam perutnya menggelitik semakin parah.

Gerakan Jungkook terhenti di bagian bahu hampir punggung. Tempat bekas jahitan baru yang tertutupi perban putih. Rahang Jungkook mengeras. Teringat pada kejadian yang menyebabkan Jimin hampir mati ketakutan. Mungkin saja Jimin benar-benar akan mati jika waktu itu ia terlambat datang.

"Jangan mengingat sesuatu yang menyakitimu." suara Jimin menghentikan lamunan Jungkook. Pemuda itu tersenyum padanya, menangkup kedua pipi Jungkook dan membawa wajahnya mendekat. Pelipis bersentuhan, berikut hidung. Jimin menunggu Jungkook menciumnya kembali. Tetapi pemuda itu tidak melakukannya.

"Dia menyakitimu." kepala dijatuhkan ke bahu Jimin. "Dan aku bersalah karena lengah. Padahal aku berjanji untuk melindungimu dari orang sinting itu."

"Jungkook, sudahlah. Aku sudah disini."

"Tapi kau akan pergi lagi."

Tidak dijawab. Jimin mengalihkan tangannya ke helaian rambut Jungkook. Mengusap bersamaan dengan rautnya yang juga berubah sedih.

"Aku tidak bisa berbuat apa-apa." Jimin berujar putus asa. "Aku juga tidak mau pergi."

Jungkook mengangkat wajahnya, menarik wajah Jimin hingga bibir mereka terpaut. Emosi meluap terasa pekat dalam ciuman kali ini. Jungkook begitu marah dan takut. ketakutan jika mereka terpisah dan tidak bisa bertemu lagi.
Tapi yang lebih tua menenangkan. Jimin mengusap punggung Jungkook ditengah kegiatan mereka. Seakan mengerti tentang rasa sakit yang Jungkook rasakan.

NORMAL (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang