Chapter 18

4.9K 228 1
                                    

Di sini lah Michael sekarang. Duduk termenung di atas ranjang. Di dalam kamar tempat pertama kali dirinya dan Ichigo tidur bersama. Kamar Ichigo yang juga merupakan kamar yang mereka tiduri setelah acara pernikahan mereka.

Kamar ini tampak polos tanpa hiasan yang dulu digunakan saat malam pengantin mereka. Tapi kepolosan kamar ini benar-benar sangat Ichigo sekali. Setiap sudut seperti tercetak jejak sang pemilik kamar. Buku-buku dan novel-novel yang tersusun rapi di rak, beberapa pakaian Ichigo yang masih tertata di lemari, serta bantal-bantal lucu warna-warni yang meramaikan ranjang. Aroma lili Ichigo juga masih terasa di kamar ini.

Bukannya merasa tenang, berada di kamar ini membuat kerinduan Michael pada sang pemilik kamar makin menusuk setiap sendinya. Dia membaringkan dirinya dan menatap langit-langit nanar.

Michael kembali menyeret ingatannya pada kejadian sore tadi, saat dia baru tiba di rumah Ichigo.

Keinginannya untuk segera bertemu Ichigo dan meluruskan semua yang menjadi kesalahan pahaman keduanya harus pupus karena berita yang disampaikan Umi.

Ichigo pergi ke Yogyakarta dua hari lalu. Yogyakarta? Dimana lagi itu?

Kalau bukan karena Abi yang mencegahnya, Michael sudah melesat ke bandara dan mengambil keberangkatan maskapai apapun yang dapat segera membawanya ke kota itu.

Dia yakin Abi dan Umi bisa melihat seberapa kacau dirinya hingga mereka meminta Michael untuk menginap dan baru pergi besok.

Demi Tuhan, tidak ada hal lain yang bisa membuat Michael beristirahat dengan tenang kecuali Ichigo. Michael bukan pria cengeng, dia pantang menangis. Tapi dia tidak dapat lagi menghitung berapa banyak airmata yang tumpah sejak dia ditinggal Ichigo. Perempuan itu sangat mempengaruhi ketenangan jiwanya sejak pertama kali mereka bertemu.

Pesan dan panggilan teleponnya masih diabaikan Ichigo. Michael memang melarang Abi dan Umi untuk memberitahu Ichigo perihal keberadaannya di Indonesia. Tapi bukan berarti dia bisa tabah dengan sikap Ichigo yang seperti ini. Dia justru hampir gila.

Ketukan pintu kamar membuat Michael kembali tersadar dari lamunannya. Dia bergegas membuka pintu dan mendapati Umi berdiri di sana.

"Makan malam dulu nak." kata wanita paruh baya itu kemudian.

Michael hanya tersenyum dan mengangguk, lalu mengikuti Umi ke meja makan.

Dia tidak ingin makan sebenarnya. Semua makanan terasa hambar belakangan ini. Tapi dia cukup yakin tubuhnya butuh asupan energi, setidaknya agar dia bisa tetap sehat untuk bertemu Ichigo.

Setalah makan malam itu, Abi mengajaknya berbincang di ruang tamu. Michael yakin ini ada hubungannya dengan rumah tangganya. Jadi dia ikut dengan patuh.

"Abi memang tidak tau apa yang terjadi. Tapi kelakuan Ichigo persis seperti kamu sekarang." kata Abi langsung.

Michael mengernyit tidak paham.

Abi tersenyum tipis sebelum melanjutkan "Tidak banyak bicara, mengurung diri di kamar dan makan seadanya. Kita memang tidak begitu dekat nak. Interaksi kita juga sangat jarang. Tapi Abi tetap menganggap mu sebagai anak Abi juga. Perempuan selalu berpikir dengan hati dari pada logika. Sepenurut apapun Ichigo, dia juga punya sisi kerasnya. Jadi selesaikanlah dengan kepala dingin."

Michael mengangguk setuju. "Michael paham Abi." jawabnya.

"Mengingat kondisi Ichigo sekarang, Abi yakin dia menjadi lebih sensitif. Wanita yang sedang dalam masa itu, cenderung memiliki emosi labil. Jadi kamu harus banyak bersabar menghadapinya." lanjut Abi lagi.

"Kondisi seperti apa bi?" tanya Michael bingung. Dia memang tau kalau kesalahan pahaman ini membuat Ichigo sensitif padanya. Tapi dia tidak paham masa apa yang dialami Ichigo hingga membuat emosinya labil.

Namanya AnnisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang