MATA dibalas mata, nyawa di balas nyawa. Keyakinan itu masih dipegang teguh oleh pria berumur 80-an itu hingga detik ini.
Ia duduk di sebuah sofa tunggal yang warnanya mulai pudar. Bola matanya yang tertutup selaput sewarna putih susu mengarah ke anak sulungnya. Meski dia tak dapat melihat, ia tahu anaknya sedang gelisah.
"Ayah sudah atur pergerakan para monster. Sisanya bergantung padamu," ucap pria itu. Suara seraknya bergema dipantulkan dinding kayu pondok tempat mereka tinggal.
Anaknya menggeliat tidak nyaman di kursinya. Meski dia dan ayahnya sudah merencanakan ini bertahun-tahun, toh dia tetap gugup ketika waktunya tiba.
"Baik," ucap anak itu dengan suara yang dimantapkan.
Ia memandang adiknya yang masih berumur 7 tahun dengan mata yang berkaca-kaca. Adik satu ayah tapi beda ibu. Bocah itu sama sekali tak merasakan atmosfir ketegangan di ruangan itu dan malah asyik melahap sandwitchnya.
Kemudian anak itu kembali menatap wajah keriput ayahnya. Mengamati tiap detail wajah pria tua itu. Lengan dan tungkainya kurus, membuat kulitnya terlihat bergelambir. Hampir seluruh rambutnya berwarna putih, bibirnya kering dan pecah-pecah. Penampilannya sangat jauh dari kata sehat.
Lalu pandangannya berakhir pada bingkai foto yang tergantung di dinding dekat pintu. Sebuah potret keluarga kecil, terdiri dari seorang ayah, ibu, dan seorang anak. Mereka terlihat bahagia dengan senyum yang menghiasi bibir mereka.
"Ayah percaya padamu," ucap pria tua itu.
"Aku tak akan mengecewakan Ayah," ucap anak itu. Lalu ia berdiri dan pergi.
Rencana mereka sudah dimulai.
***
A/N :
Gimana menurut kalian? Prolognya dah oke belum?
Vote? Comment?
- Arum Sulistyani
KAMU SEDANG MEMBACA
ARAS: The Betrayer
FantasyFANTASY-ROMANCE Book 1 of ARAS Trilogy ARAS: The Betrayer Aku hanyalah seorang gadis berusia 18 tahun yang biasa pada umumnya, setidaknya begitu pikirku. Waktu kecil aku sering melihat monster seperti Boogeyman yang bersembunyi di dalam lemari bajuk...