Aku sudah kembali duduk di kursi samping pengemudi, sambil mengamati jalanan dengan ketertarikan yang berlebihan, saat Ken memacu mobil melintasi jalanan kota Atlanta.
Tiba-tiba Ken menghentikan mobil dan menepi. Aku berbalik menatapnya dan dia menghempaskan tubuhnya ke sadaran kursi lalu mengacak-acak rambutnya.
"Seharusnya aku tidak mengatakan semua itu," ucapnya lebih kepada dirinya sendiri.
Pikiranku sudah kacau sejak mendengar kisah cinta mereka bertiga. Rasanya dadaku begitu sesak hingga mungkin dapat meledak kapan saja. Aku hendak bertanya pada Ken, kenapa dia berhenti? Tapi suaraku seperti tercekat di tenggorokan dan jika aku memaksa untuk bicara aku yakin aku akan menangis.
"Apakah dia seberarti itu buatmu?" Ken bertanya dengan mata terpejam.
Aku diam tak menjawab. Beberapa saat setelah ia tak mendapatkan jawaban, ia mulai membuka mata dan menegakkan tubuhnya.
"Nyx, katakan sesuatu! Kau hanya diam semenjak keluar dari cafe itu. Kau membuatku takut." Wajahnya terlihat panik, seolah-olah aku akan meledak begitu saja di hadapannya. Dan mungkin dia benar.
"Aku ... aku ...," aku mencoba menjawab tapi kemudian tangisku pecah.
Bukan tangis seorang gadis cantik yang elegan, tapi tangis yang berantakan. Aku menjerit dan terisak, kedua tanganku menutupi wajahku, mencoba meredam jeritanku.
Kemudian aku merasakan sebuah lengan yang hangat merangkul pundakku. Menarikku untuk bersandar di pundaknya.
"Menangislah jika itu membuatmu merasa lebih baik," bisiknya lembut di telingaku. "Ini jauh lebih baik buatku, dari pada kau diam seperti tak bernyawa."
Isakanku mulai mereda meski air mataku masih terus mengalir dan aku memikirkan apa alasan sebenarnya aku menangis.
Apakah karena aku merasa kalau aku hanyalah pelarian untuk Shura selama ini?
Atau mungkin karena aku tak akan dapat memiliki Shura?Apapun alasannya menyakitkan memikirkan Shura mencintai gadis lain. Meskipun gadis itu telah tiada.
"Maaf," gumamku dengan suara serak akibat tangisku.
"Tak masalah." Suara Ken terdengar mantap saat mengucapkannya, lalu aku menegakkan tubuhku dan membersihkan sisa air mataku.
"Aku benar-benar minta maaf. Ini pasti sulit buatmu," ucapku merasa bersalah.
"Ya. Sangat sulit," jawabnya. Aku memutar kepalaku menghadap ke arahnya. Dan dia balas menatapku, menahan pandanganku untuk terus menatapnya. "Karena itu kau harus membayarnya." Ketika dia mengucapkan kalimat itu, senyum jenakanya sudah bermain-main di bibirnya.
"Berapa bayaranmu?" jawabku mengikuti permainannya dan mencoba membuat seulas senyum di bibirku.
"Sangat mahal tentunya."
Aku mengangkat alisku pura-pura terkejut. "Kumohon! Aku tak punya apapun untuk membayarmu."
Dia balas memutar bola matanya padaku dan mencondongkan tubuhnya ke arahku. Kali ini aku tidak merasa gugup dan aku ikut mencondongkan tubuh ke depan.
"Kalau begitu serahkan dirimu padaku!" bisiknya dengan nada sensual yang sukses membuatku mematung. Lalu dia mencondongkan tubuhnya lebih dekat lagi dan aku mulai dirayapi hawa panas.
"Hentikan!" ucapku tegas. Meski pipiku memerah.
"Kau benar-benar tak menginginkannya?" tanyanya pura-pura terluka.
"Ayolah, Kan. Aku benar-benar bingung saat ini."
Ia melemparkan senyuman menggodanya padaku dan tatap mendekatkan tubuhnya ke arahku, hingga aku terpojok dan bersandar pada pintu mobil. "Bingung untuk menolak tawaranku?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ARAS: The Betrayer
FantasíaFANTASY-ROMANCE Book 1 of ARAS Trilogy ARAS: The Betrayer Aku hanyalah seorang gadis berusia 18 tahun yang biasa pada umumnya, setidaknya begitu pikirku. Waktu kecil aku sering melihat monster seperti Boogeyman yang bersembunyi di dalam lemari bajuk...