"Hey, Mata biru!"
"Berhenti memanggil saya dengan sebutan itu, Nona Sombong!"
"Memangnya kenapa? Daripada aku harus memanggilmu mata keranjang?!"
"Aku bukan mata keranjang, dasar Nona tengil!"
Revano tersenyum kecut. Matanya terus memandang kearah luar jendela yang sedang menampakkan pemandangan hujan yang mengguyur kota. Gelap segelap hatinya. Mendung, seperti hatinya, dan basah seperti hatinya pula. Hati yang selalu menangis diam-diam kala mengingat satu wajah yang sama setiap hatinya. Bukan, bukan setiap hari! Tapi setiap saat. Setiap Revano menutup mata dan menarik nafas panjang, wajah itu akan selalu muncul dengan angkuhnya menertawakan hati Revano.
"Berhenti mendesah! Kau membuatku merinding, Tuan Mata biru!"
Perlahan, Revano menutup mata. Meski sakit, dia menikmati luka itu. Luka terindah yang ia dapatkan dalam waktu kurang lebih dua bulan masa pencariannya di negeri orang. Luka yang memberikannya pelajaran sangat berharga akan sesuatu yang bernama cinta, tidaklah semudah ia menebarkan pesonyanya ke setiap wanita. Begitu tersangkut, mata cinta itu akan mengoyak-ngoyak-nya dengan sadis kalau sampai dia nekad untuk mencabutnya dengan keras. Seperti hatinya saat ini. Siapa yang tau kalau hati Revano saat ini sudah seperti kain perca yang hancur dan siap buang kalau saja dia tidak berusaha memanfaatnya untuk gadis lain?
"Pergilah. Duniamu sepertinya bukan ada padaku, Mata biru."
"Kau kenapa lagi, Tuan Mata biru?" Revano menggeram jengkel. Baru saja dia teringat akan gadis tercintanya, kini muncul sosok memuakan yang selalu hadir disiang bolong seperti ini. Padahal, ini adalah jam makan siang. Waktunya ia beristirahat sendiri. Harusnya Robin mengerti akan hal itu dan tidak mengganggunya seperti sekarang!
"Ada apa?" Tanya pria yang menegurnya tadi saat Revano mendelik kesal padanya."Santailah sedikit, Tuan Mata biru"
"Robin!"
Robin hanya terkekeh. Lalu duduk dengan santainya disebuah sofa yang ada diruangan besar tersebut sembari meraih sebuah tabloid bisnis yang ada diatas meja.
"Kau masih mengingatnya?" Tanya Robin tanpa mengalihkan fokusnya pada Revano. Dia sibuk dengan membolak-balikkan tabloid itu dengan sesekali berdecak kagum dengan prestasi orang-orang yang sukses di usia muda. Dan Revano, tampaknya juga begitu. Fokus dengan dunianya, tanpa perduli pertanyaan Robin yang ia tau sedang menjurus kemana.
"Padahal sudah sepuluh tahun." Keluh Robin pelan seolah Revano tidak boleh mendengarnya. Namun sayang, kalau ternyata Revano bukanlah orang yang tuli. Dia mendengar, namun enggan untuk menjawab.
"Bagaimana dengan sahammu yang ada diperusahaan Abimanyu? Kenapa tidak kau tarik saja? Atau menjualnya saja, mungkin?" Tanya Robin lagi-lagi tidak mendapat jawaban dari Revano.
"Tuan Revano..."
Helaan nafas panjang keluar dari mulut pria yang ia panggil. Sambil memijat pelipisnya yang mendadak berdenyut, Revano menjawab. "Memangnya kenapa?"
Robin hanya menggidikkan bahunya sekali, dan mencebik."Aku hanya heran. Kau mempertahankan posisimu disana, namun kau selalu menyuruhku untuk menanganinya."
"Lalu? Apa kau lelah melakukannya?" Tanya Revano tajam yang dibalas lagi oleh tawa renyah Robin.
"Kau tau? Kudengar Pak Fabian tengah berusaha untuk menjodohkan salah satu putrinya. Menurutmu, apakah itu si cantik Adelia, atau..."
Revano menegang. Lalu matanya menatap sosok Robin yang juga tengah menatapnya dengan sorot mata yang sulit ia tebak. Apa maksudnya Alisya? Pikirnya keras. Dan beberapa detik kemudian, dia berusaha membuang raut wajah tegangnya. Mencoba terlihat biasa, meski kenyataan hatinya sedang kelabu saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alisya Dan Revano (Tersedia di PlayStore!)
RomantizmJudul awal : One More Time. Cerita lengkap sudah bisa didapatkan di PlayStore.... ヾ(^-^)ノ "Jika aku tidak bisa menyembuhkan lukamu, biar waktu yang melakukannya. Dan selama matahari masih membiarkan langit dan lautan masih berwarna biru, selama itu...