Awan menangis sore ini. Namun lepas itu, senja masih saja ingin hadir menemani perjalanan para pengagumnya. Ia tampak mengintip di balik gelapnya awan muram. Menyiratkan semburat indah warna jingganya. Dan seiring kepergiannya di balik horison, rindu kembali menyeruak menusuk dada. Memaksa hati turut merasakan pilunya. Tak sabar menantikan hari esok tiba. Hari dimana kita bisa saling bertatap mata. Meleburkan rindu yang telah beku, beberapa lamanya.
***************
"Tak bisa tidur kemaren aku, jal" Ijoy membuka muktamar. "Baru sekali kah kau tahu cinta? Sampai-sampai tak bisa tidur begitu." respon Rijal.
"Bukan begitu. Aku sudah pernah rasakan cinta. Dengan Imama, Suci, Ninda, Ama, Linda, Rindu, Desi, Syifa, Nafissa, Tina, Dewi, Safira, Zahra, Riska... Siapa lagi ya? Banyak lah, tapi aku tak..." kalimat Ijoy tak selesai karena ada penghapus nyasar kena meja.
"Hoiii!!! Kau ini. Masih pagi sudah ada muktamar!!! Bicarakan apa kau?! Hingga tak dengar aku baca nama di absensi. Kalau mau mengombrol dirumah saja!! Sekalian dengan ibu-ibu!!!" marah Bapak Abdul mencuat lihat mereka. Memang tak tahu diri. "Ku ulangi. Iason Jabo Oskar Yardane?! Siapa punya nama?" seru Bapak Abdul.
"Saya bapak." Ijoy berseru tak lupa tangannya ikut mengangkat.
"Siapa panggilanmu? Tukang rumpi? Siapa? Aku lupa, boi"
"Tidak, bapak. Panggilan saya, Ijoy"
"Aduh Tuhan... Nama bagus juga panjang itu? Ijoy? Aduh... Tak masuk lah, boii" sungguh menyayat hati sekali kata itu, sedih aku dengarnya. "Lalu, sampingmu itu, siapa? Tukang rumpi jilid 2?" lanjut Bapak beranak 2 itu.
"Saya? Saiful Rizal Sahal, panggilan Rijal , bapak" kata Rijal yang kena batunya juga.
"Sudahlah, cape aku mengajar engkau"
*****************"Tak sabar lah aku. Ingin cepat ke tempat M. Roy. Aku yakin Senja ada disana" seru Ijoy setelah lonceng sekolah memanggil waktu istirahat. "Iya kah? Seberapa yakin?" tanya Rijal. "Yakin! 1000% yakin!" serunya mantab. Gila sudah orang itu. Habis sudah tubuh Rijal jadi korban.
Korban pertama, tangan Rijal. Tak henti-hentinya Ijoy menarik sebelah tangannya, mungkin sudah panjang sebelah itu.
Korban kedua, kerah baju. Sudah sobek dibuatnya. Malang sekali memang.
"Hei, joy. Lanjutkan kalimatmu yang sempat terpotong tadi. Mau dengar aku" Rijal meminta, sudah penasaran dari tadi dia.
"Sampai mana aku tadi? Ooo... Ingat ingat... Aku pernah ada rasa cinta dengan mereka. Tapi abal-abal. Tak macam sekarang aku dengan Senja. Apa ya? Beda begitu, tak pernah aku tak bisa tidur. Kelebihan tidur adanya. Eh, Bang Roy! Aku ambil roti satu lagi ya! Gratis ini kan?!" ceritanya. Cerita pakai ending minta roti gratis. "Haduh, boii... Yasudah lah, karna kau pelanggan tetap, ku beri itu roti... G E R A T I S" baik kali abang roti satu ini. "Yasuu..." terpotong lagi kalimat Ijoy, bukan karna gertakan Bapak Abdul, tapi karna Senja datang, lengkap dengan rambut yang digerainya, pakai acara tertiup angin pula. "Dah..." lengkap Ijoy, mungkin ada rasa mengganjal karna tak lengkap kalimatnya.
Senyum-senyum saja manusia itu. Seperti telah terbayar lunas seluruh kegelisahan dan kecemasannya karna tak bisa tidur kemarin. 5 menit itu terasa cepat. Tak ada satu patah kata pun keluar dari mulutnya. Diam, tak bisa apa-apa, kaku. Ijoy terima semua waktu yang sudah dan sedang berjalan itu dengan keheningan. Gerobak lengendaris itu juga menyaksikan dengan diam. Sorot mata senja memabukkan para pengagum sekaligus pecintanya didepan mata. Tak berwarna jingga, tapi sangat mendalam. Tak menyilaukan, tapi menenangkan. Tak riuh rendah, tapi hampa. Tak bisa digambarkan semua. Hai nona manis, biarkan bumi berputar, menurut kehendaknya. Hai nona manis, pulanglah bersamaku, sembari memungut serpihan rindu, yang tersisa saat terakhir kita bertemu.
Hai nona manis, angin kecil menerbangkan rambutmu, dengan diriku yang masih terpaku, melihat senyumanmu, sepatah katapun bertutur aku tak mampu, tetap disini, melihat geloramu, dengan mulut membisu.************************
"Hangatmu mampu membuatku tersipu dan merindu. Sepotong senyummu menyadarkanku. Pelukismu sedang melukis sepotong keindahan bagi diriku. Kau menerka dengan malu-malu. Senja merahku, yang bahkan sampai pagi tiba tak luput dari ingatanku." -Ijoy
KAMU SEDANG MEMBACA
Sendja
Teen Fiction"Pada akhirnya senja akan menjauh, namun ia tak kan pernah bisa melenyapkan cinta yang paling dalam dari pandangan mata, apalagi hati. Tinggal menunggu waktu dimana ia datang 'lagi' dengan begitu damai, diantara retakan hati" -Ijoy