Kisah Maloe

37 4 2
                                    

Cinta menguasai diri dan hati. Cinta telah membutakan mata. Menyengsarakan atau membahagiakan, tetap saja cinta. Cinta memang selalu melenakan, membuat tak pernah rela kehilangan. Belajar mencintai adalah cara terbaik untuk mencintai, jangan abai, jangan lalai. Suatu saat ia akan sangat, dan sangat berbalik mencintai.

****************

"Dimana dia, joy? Sudah bertemukah kau?" tanya Rijal. "Belum. Jam sudah siang. Tak mau masuk sekolah kah dia gara-gara malu melihat seonggok puisi laknat tak berguna untuknya yang terpampang nyata pada majalah sekolah? Jika iya, karna ulah majenun kau itu!" Ijoy tak sabar. "Ayolah, joy. Aku tau kau tak bisa sabar. Tapi tak usah kau semprotkan kuah itu ke muka ku yang ganteng ini" sudah bergeridik jijik si Rijal itu. Keran sekolah langsung dituju dan diserobotnya antrean cuci tangan. "Maaf lah, jal... Emosi aku ini..." teriak Ijoy sembari menunggu Rijal kembali duduk. Mau tertawa tapi kasihan, kalau tak tertawa, ya sia-sia. Jahat sekali. "Eh, jal. Nanti jangan pulang dulu. Ku ajak kau. Ke kelas Senja. Aku mau lihat absensi sekalian mengecek, apa dia benar tak masuk hari ini. Okeh?" tanya Ijoy. Mengangguk saja itu karibnya, sambil makan mie Babah Liong.

*****************

Macam gangster saja gelagat mereka, meski cuma berdua. Tak ayal banyak anak baru, tunduk kepala jika mereka lewat, sekali lagi, meski cuma berdua. Gangster, tapi bukan serupa dengan yang di kota-kota. Tak pantas memang. Culun, kerah dikancingkan, rapi, tak mencerminkan gangster sama sekali. Di dorongnya itu pintu kelas yang tak salah apa-apa. Gedubrakkk. Seluruh orang menengok, melihat, menatap. "Ehe, Ibu... Maaf sekali, maaf sekali, maaf, maaf..." yang tadinya sok sangar. Menciut macam kerupuk yang belum dijemur sebelum digoreng. Melempem. Tak tahu kah mereka bahwa tak semua kelas kosong meski setelah pelajaran selesai? Sungguh memalukan sekali warga sekolah kawakan ini. "Ada apa kau?! Dobrak pintu seenaknya?!!! Mau masuk kantor konseling lagi kah?! Tak bosan-bosan kena hukuman ya kau?!" marah Ibu Salamah. "Maaf, ibu... Ini tidak sengaja, ibu... Tadi saya kena sandung batu, makanya bisa dorong ini pintu dengan keras... Maaf ibu, maaf..." seru mereka, tertunduk. Sungguh menjadi pemandanga seru siang itu. Hiburan sederhana. Tak lama, 2 belah telinga sudah jadi korban. Sakit mungkin. Sakit atau malu kah mereka? Dilihat para juniornya. Untung tak ada Senja, atau Rehan si cecunguk itu. Akan ku ceritakan siapa Rehan cecunguk itu nanti, kawan.

************************

"Setiap daun yang gugur mengorbankan diri,
Setiap tumbuhan perintis yang selalu menggodai batangnya,
Setiap rasa yang mengundurkan diri,
Adalah kehilangan untuk keberadaan.
Itu kasih."

*kali ini memang tidak nyambung kawan. Sudah ku katakan sebelumnya. Memang sudah kena penyakit gila.

SendjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang