| XI - Wishy-Washy |

70.5K 10K 700
                                    

Sayang anaknya, tanpa Bapaknya, boleh enggak sih?
..
..
..





Tadi pagi, saat di meja makan, aku berusaha memborbardir Mas Satya dengan pertanyaan sama makna. Berharap dia mau mengaku kalah dan menganggap aku bukan lagi anak kecil di rumah itu. Bisa-bisanya, dia tidak memberitahu kalau dirinya dan Laras memiliki hubungan.

Namun, seperti Mas Satya pada biasanya, dia malah membungkamku dengan kalimat, "Udah. Nggak usah sibuk mikirin Mas sama Laras, kamu itu lho nasibnya gimana. Kalau nggak mau kerja, cari suami aja sana yang mau hidupin kamu." Kelihatan banget kalau dia sama sekali tidak terganggu dengan pengetahuanku atas hubungan gelapnya.

Dan, berkat hinaan itu, di sinilah aku, bersama Laras, di rumah makan padang dekat kantornya. Oke, aku memang terlihat seperti pengangguran menyedihkan, menghampiri orang kantoran di jam istirahat dan meminta nomor laki-laki yang kira-kira mau dan sanggup menghidupiku.

Aku mulai mengunyah ayam berbumbu kekuningan. "Jangan belagu lo ya, Ras, ya mentang-mentang udah dapat laki. Mana? Katanya mau ngasih gue nomor mangsa." Sementara kulihat, Laras sangat menikmati rendang di piringnya. Gadis ini, tak pernah ganti menu setiap makan di tempat ini.

"Duh, Pra.... Elo tuh nggak perlu lah ya, jauh-jauh memandang keluar. Kayak gue gini lho. Cukup perbaiki diri, maka Mas Satya datang."

"Najis!"

"Hahaha. Nggak percaya lagi lo. Gue kasih tau deh, sampai dada lo bisa besar tanpa operasi pun, yang namanya burung itu ya cari sangkar sendiri, bukannya sangkar yang ngobralin diri."

"Analogi lo, please ya Allah." Aku terbahak. Untung saja suasana ramai, jadi, tak terlalu menjadi pusat perhatian. "Ih, tapi seriusan ah. Gue butuh uang. Cariin yang banyak duit."

"Ke Alexis aja, Say, lantai tujuh. Tinggal pilih deh lo mau yang buncit depan apa belakang."

"Anjrit! Songong banget ya lo, Ras. Alexis tutup, elo nggak kalang kabut nyari tempat baru?"

"Tae! Malah dibalikin." Tiba-tiba, suaranya mulai serius saat mengatakan, "Eh Pra, elo beneran udah nggak kerja lagi sama Mas Gandhaa?"

Ah, ngomong-ngomong soal laki-laki itu, aku jadi kepikiran sama sikapnya tiga hari lalu. Malam setelah menjenguknya, aku tidak bisa memejamkan mata. Merasa ada yang aneh. Ketika seseorang yang biasanya selalu mengeluarkan kalimat sindiran dan membuatmu meledak, tetiba menjadi baik, you know? Itu menakutkan. Dan, saat aku menceritakan pada Mama, dengan senyuman merekah---tentu saja karena aku berhasil membawa maaf dari Gandhaa, Mama bilang kalau laki-laki saat sedang sakit ada dua kemungkinan: terlalu baik atau terlalu manja. Mengingat Mama adalah orang berpengalaman atas Papa dan Mas Satya, aku jadi agak percaya.

"Kan gue udah dipulangin."

"Tapi katanya elo udah baikan."

"Iya sih. Tapi gengsi ah, masa mau minta lagi. Ih, Laras, gue nggak mau jadi pengasuh ah! Mending gue kencan sama cowok tajir."

"Dan digrepe-grepe lo mau?"

Aku tersedak dan terbatuk, sementara Laras malah terkikik sambil menyodorkan minum. "Gila lo!"

"Tapi gue serius. Emang elo pikir cowok sebodoh itu apa? Dia kasih elo sesuatu aja, minta bayaran tanpa lo sadari, Pra," ucapnya lugas, masih fokus sama rendangnya. Kemudian matanya menemukan pandanganku. "Apalagi, kalau misalnya nih, gue beneran kenalin lo sama kenalan gue. Terus, elo dibelanjain. Semuanya. Kalau dia nggak dapet sesuatu yang setimpal, lo pikir dia mau?"

Aku bungkam. Enggak kok. Temanku dulu saat kuliah mendapatkan banyak benda dari pacarnya, tetapi dia baik-baik saja. Lalu, jenis setimpal apa yang ... "Astaga! Maksud lo, dia mau ngena-ngenain gue?"

Wishy-Washy ✔️ [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang