| XV - Wishy-Washy |

69.6K 9.6K 1K
                                    

Kalau merasa malu, tetaplah ingat, kamu harus berperan menjadi pemenangnya.
..
..
..




Satu-satunya hal yang kusuka dari lift di apartemen ini adalah kaca yang mengelilingi. Di tambah, seorang diri di dalamnya. Paradise! Jadi, dengan gampang aku bisa memastikan penampilan tetap paripurna. "Ya salam. Mimpi apa Mama dulu bisa menghasilkan model yang nggak dilirik sama agensi ini ya." Aku memutar tubuh dengan kedua tangan di sisi dress yang kukenakan: full skirt dress bewarna krem. Again, ini adalah pilihan Gandhaa. "Nggak apa, Pra, dada kecil. Jangan dipikirin. Kata Laras, masih banyak ornamen cewek yang disukai laki-laki, dan payudara cuma salah satunya. Semangat!"

Aku merogoh ponsel saat merasakannya bergetar. Menemukan chat Mas Satya yang mengirimi gambar sebuah stiletto cantik, merah menyala. Dan, bayanganku sudah jatuh pada sosok diriku sendiri saat mengenakannya dengan gaun panjang atau justru mini dress cantik. Oh God, aku pasti---mataku seketika melotot membaca chat lanjutannya. Holy crap. Dia cuma tanya apakah benda itu bagus enggak untuk Laras?

Me: Najis! Laras nggak cocok pakai itu. Aku aja sini yang pakek😳

Satya-Gemblung-Pamungkas: Ngimpi, Nduk. Bangun, cuci muka sana!

Me: *jari tengah*

Satya-Gemblung-Pamungkas: *nendang Pra sampek Gaza*

Aku mengeram pelan. "Dasar gila, Mas macam apa sih dia!" Sebelum amarahku bertambah, aku memilih berhenti meladeni, memasukannya kembali ke dalam tas. Kini, fokusku pada pita kain bermotif polkadot di kepalaku yang mulai miring, yang terlihat dari kaca itu. Maka, sedikit berjongkok, aku mulai membenarkannya sampai akhirnya lift berhenti dan beberapa orang mengacaukan karena aku agak malu.

Aku mengangkat tas agak tinggi ketika dentingan lift menunjukkan angka 18. Melewati orang-orang yang menatapku dengan menyipitkan mata. Mereka mungkin berpikir aksiku aneh, tetapi itu hanya karena mereka tidak tahu betapa aku menyayangi barang-barang dan tidak ingin ada yang menyenggol apalagi sampai merusaknya. "Havana, havana.... Na na na na na...." Dengan sengaja, mulut terus bersenandung pelan, aku berseluncur di atas lantai (inilah salah satu alasan aku cinta mati sama sneakers), di lorong dan berhenti tepat di depan pintu unit Gandhaa. "Havana, havana... apa sih lirik lanjutannya, lupa."

Aku membeku. Di depan mataku, di sebelah sofa, di ruang tengah, ada dua insan sedang berpelukan. Mesra. Seperti sedang melepas rindu. Dan, aku tak tahu apakah rindunya itu sebesar milik Dimas untuk Audy, atau hanya berupa ucapan omong kosong semacam milik Al untuk Kay.

Dasar. Baru ketahuan ya busuknya setelah hampir sebulan aku kembali bekerja di sini. Mana Mama bilang dia duda yang berwibawa dan berbeda dengan duda zaman yesterday-old-sialan itu? Mana Laras bilang kalau Gandhaa adalah laki-laki yang bertanggung jawab? Apa, pelukan ini disebut sebuah pertanggungjawaban atas aksi bejatnya? Meniduri perempuan itu, misalnya? Mana Mas Satya bilang---ah, benar. Mas Satya mengatakan tak ada laki-laki sempurna yang baik hati, begitupun Gandhaa. Juga, Papa berbohong perihal Gandhaa bisa diperhitungkan.

Dan, dari semua kebusukan Gandhaa, aku hanya menyayangkan satu; kebodohannya memilih momen. Kenapa dia berpikir kalau mereka akan aman bermain kuda di sini sementara besar kemungkinan aku akan kembali setelah mengantar anaknya?

Penjahat kelamin zaman now memang ajaib.

Mengikat pita semakin kencang, aku berjalan mendekat. Lalu, dengan kekuatan agak ekstra, kupaksa mereka melepas diri. Senyum najis langsung kulayangkan untuk Gandhaa begitu melihat alisnya mengangkat arogan. Begitupun pada perempuan jalang ini, aku menatapnya mencemooh sambil melipat tangan di dada. Mari bermain peran menjadi tokoh utama, Pra! Kamu hebat! Yeah! Lakukan lagi!

Wishy-Washy ✔️ [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang