| XII - Wishy-Washy |

66.5K 9.1K 833
                                    

Ambil uangnya, tanpa perlu orangnya!
..
..
..





Orang tua akan merasa selalu benar, tak peduli kamu sudah merentangkan bendera kebenaran.

Teman kuliahku dulu pernah menarik tanganku kuat saat dosen baru saja mengakhiri kelas. Dengan kebingungan, aku tetap membiarkan ia membawa ke sebuah taman kampus. Saat kupikir, akan ada sesuatu yang besar terjadi atau sudah terlanjur, tetapi nyatanya, Tsania---temanku itu---malah merepet dan aku tak berhasil mencerna kalimatnya. Ketika aku berusaha menjeda, meminta dia menormalkan repetan dalam bentuk umpatan saja (setidaknya, untuk yang ini aku bisa paham), dia malah mengangkat tangan dengan gelengan kepala, "Elo cukup diam, Pra. Gue cuma mau ada yang dengerin. Ini semua tentang masa depan gue dan nggak ada yang paham."

Maka, kira-kira selama lima belas menit, aku menghabiskan waktu paling buruk sepanjang hidup hanya untuk mendengar repetan orang. Usai mengoceh dan merasa puas, akhirnya Tsania mengaku kalau dirinya sedang sangat kesal pada orangtuanya. "Elo tau nggak, Pra? Emak gue nih nyebelin abes! Masa ya, gue mulai bangun olshop, dia bilang itu malu-maluin dan nggak akan sukses. Dia tuh nggak paham, gimana berkembangnya zaman dan selalu merasa benar sendiri."

"Elo jelasin dong, San."

"Udah! Tapi dia kukuh, dia bilang dia tau apa yang terbaik untuk anaknya. Intinya, gue nggak diizinkan buat nyambi, harus fokus ke kuliah. Bosen kali!"

Dulu, aku pikir Tsania berlebihan. Disuruh kuliah saja, tanpa kerja, tetapi uang mengalir, bukankah sesuatu yang menggiurkan?

Namun, kini aku paham. Kalau apa yang dimaksudkan Tsania bukan tentang seberapa uang yang didapat, seberapa kemudahan ia karena hanya fokus pada pendidikan. Lebih dari itu. Tsania menginginkan sesuatu yang berdasarkan perspektifnya. Berlandaskan apa yang ia suka. Dan, segala sesuatu jelas tak sama dengan yang lain. Tetapi, orangtuanya, merasa tau segala. Memaksa Tsania melakukan apa yang mereka pinta.

Sama persis dengan keluargaku. Malam itu, setelah Raka dan Pak Alfi pulang, aku memaksa semua orang rumah berkumpul di ruang tamu karena merasa ada yang perlu aku ketahui. Tidak. Mama salah besar jika menganggap aku adalah bodoh. Bercanda, Bung? Aku adalah Praveena Radha. Dan, sejak kapan cewek cantik dan seksi terlahir tanpa otak?

Meeting keluarga itu tentu saja dibuka olehku yang merasa ingin menusuk Mas Satya karena terlihat ogah-ogahan. "Jelasin ke Pra, Mama kenal sama Gandhaa kan? Kenapa Mama ngomong sama Eyang tapi bahas Raka. Demi Allah dunia itu luas!"

Tak ada yang menjawab, membuat emsosiku semakin meningkat.

"Oke, nggak ada yang mau jawab, Pra? Kalau gitu, jangan cari Pra lagi. Pra mau pergi dari rumah ini! Bye!"

"Pra!"

Itu suara Mas Satya. Aku mengurungkan niat dan kembali duduk di sofa. Siapa juga yang mau pergi. Aku nggak punya uang. "Kenapa? Nggak ada yang mau ngomong kan? Pra tuh salah mulu. Mas Satya tuh bener mulu. Kapan sih Mas Satya tuh terlihat buruk di depan Mama dan Papa? Pra terooos!"

"Kamu juga terbaik. Putri Papa paling cantik." Papa mengelus lenganku, dan hanya kubalas putaran bola mata. "Lho, nggak percaya? Kamu sama Mama aja cantikan kamu kok."

"Jelas!"

Papa malah tertawa. Disusul dengusan Mama dan gelengan kepala Mas Satya.

"Gandhaa itu orangnya baik tho, Nduk?" Oh God, kalau Mama sudah menggunakan panggilan manis itu, berarti aku harus siap dengan informasi besar. "Raka juga baik, manis dan penurut. Kamu ndak tertarik?"

Wishy-Washy ✔️ [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang