| IX - Wishy-Washy |

68.1K 9.5K 641
                                    

"Astaga!"

Aku mendelik pada seseorang yang sekarang berdiri di depanku, terlihat sama sekali tak mau membantu. Padahal, jelas, aku ambruk di pinggir jalan begini karena dorongan tubuhnya.

Rasanya, benar-benar menyesal mengenakan angkle boots di Jakarta ini!

"Elo ... nggak mau bantuin gue berdiri?" Kakiku rasanya sulit digerakkan. Aku yakin, pergelangannya pasti terkilir. Dan, mengingat bagaimana nasibku sehabis ini, membuatku bergidik ngeri. Mama akan memanggil tukang urut dan matilah aku. "Hei, elo nggak sadar diri ya? Bantuin gue berdiri dong! Gimana sih."

Laki-laki itu berjongkok, mengulurkan tangan yang dengan cepat kutarik sebagai penopang saat aku bangkit. Oh God, ini sakit sekali. Aku seperti tak bisa melangkah. Persetan dengan Laras yang nggak mau mengantarku pulang dan malah pergi begitu saja. Pertemuan yang sia-sia.

"Elo nggak mau minta maaf?" Melihat dia yang malah balik menatapku aneh itu membuat darah mendidih. Ya salam. Tidak berprikemanusiaan laki-laki ini. "Elo denger gue nggak?"

"Ngapain gue harus minta maaf. Kan ini jalan lebar, ngapain lo jalan mepet gue. Gue mau nyeberang ke sana dan lo malah jalan cepat-cepat."

"Gue mau manggil taksi!"

"Yaudah."

"Yaudah? Heh, gue nih jatuh gara-gara badan lo ya... Dan, sekarang gue nggak bisa jalan. Lo nggak merasa bersalah atau apa gitu?"

"Itu juga kesalahan lo karena jalan buru-buru. Bye!"

"Bye? What the fuck!" Aku makin meradang karena dia nggak menoleh sama sekali. "Kacau nih dunia. Manusianya pada bego-bego semua. Argh, sialan! Nggak bisa jalan!" Terpaksa, dengan kaki pincang, aku memberhentikan taksi dan berharap segera sampai di rumah.

Kacau balau semuanya. Uang habis, belum sempat gajian sudah dipecat dan sekarang mendapat bencana. Praveena ... kamu berhak mendapatkan piala bergengsi dalam kategori the best journey.







***







Satu jam kemudian, aku sudah menjerit-jerit karena Mama benar-benar memanggil tukang urut ke rumah. Sambil memberiku ucapan selamat ala Mama, dia juga tersenyum penuh kemenangan.

"Mama... masa ya, Ma, orang yang dor---AW, shit! Ya Allah, Mbah ... sakeeeet!" Aku memejamkan mata, meremas bantal sofa di dalam dekapan. Ini nyeri banget, demi apa pun terkilir sangat menyiksa. Ditambah, tukang urutnya benar-brnar tak tahu rasa bela sungkawa. "Sakit, Mbah, pelan-pelan!"

"Ohalah, Nduk. Lah iki wes pelan-pelan lho. Yang namanya terkilir yo mesti loro. Makanya, kalau jalan pelan-pelan."

Aku memutar bola mata. Mbah Nuri ini memang menjadi langganan keluarga. Apalagi, kata Mama, waktu masih kecil, seminggu minimal dua kali, aku pasti dipijat karena sering jatuh. Entahlah, yang salah bumi bulat ini atau memang aku cocoknya tinggal di kayangan.

"Ma, tadi tuh ya, Ma, waktu Pra mau nyeberang, dia buru-buru banget. Lah, dia pikir dia doang yang ngejar waktu. Makanya, Pra nggak mau ngalah, tetep jalan di jalan Pra, eh kedorong sikunya, Ma! Gilaaaa! Mana dia nggak mau minta maaf lagi! Najis emang tuh orang!"

Aku baru mengenal manusia sejenis dia ya ini. Sudah salah, ngotot lagi. Dia pikir dunia ini persembahan dari pengikutnya apa.

"Gimana rasanya ndak di-mintamaaf-in?"

"Ha? Aw-aw-aw. Uwes, Mbah. Loro tenan iki!"

Mbah Nuri tertawa. Dia selalu begitu setiap aku berniat berdialog dengan bahasa Jawa. Katanya, "Ndak pantes kamu itu, Nduk. Ndak ada logat-logat Jawa-nya sama sekali." Ya begitulah. Mas Satya selalu menang dalam hal ini.

Wishy-Washy ✔️ [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang