| VII - Wishy-Washy |

75K 9.6K 1.1K
                                    

Meski penampilan paripurna, kalau semuanya saja sudah pernah dijamah orang, siapa yang mau lirik kalau bukan Kampret yang durhaka.
..
..
..






Hidupku memang tak mudah sejak keputusan gila yang kuambil saat itu. Mengasuh anak orang lengkap dengan Bapaknya yang menyebalkan, you know? Kupikir, tak ada yang lebih buruk lagi dari itu.

Jam sekarang sudah menunujukkan setengah lima sore dan aku masih berkutat dengan bahan-bahan tanpa nama ini, sementara Raka tadi pamit berenang bersama teman tetangga dan ibu temannya. Tentu saja, aku tidak bodoh dengan tidak meminta nomor Mbak Denada---ibunya Tristan.

"Mana dibilangnya sejam dagingnya empuk, ini udah dari tadi, gini-gini aja. Sialan banget sih!" Aku kembali mengabsen tiap bahan untuk bumbu halusnya, selain bumbu instan dan santan. "Tiga buah bawang putih, lima buah bawang merah, sepuluh buah cabai merah, satu ruas kunyit, ruas jahe dan ini mana jahe mana lainnya sih? Ya Allah, mati aja tuh dokter!"

Aku melempar asal jahe-kunyit atau apa pun itu ke belakang sampai sadar ada sebuah pekikan kecil. Dan, saat berbalik, aku paham kalau nyawaku sebentar lagi akan habis.

Di sana, ada Gandhaa yang sedang berdiri dengan kemeja gading tanpa dasi. Matanya terlihat mengitari keadaan dapur yang tentu saja sangat berbeda dengan saat ia tinggal tadi. Dan, jelas aku menjadi tersangka utamanya.

Untuk hal ini, aku membenci sistem apartemen yang memberinya kunci akses dan tak membiarkanku merapikan semuanya lebih dulu.

"Sudah selesai?"

Oh? Dia nggak marah. Aku tersenyum puas dalam hati. Selamat kamu, Pra! "Be-belum. Ba-Bapak, akan marah?"

Ia meringis. "Enggak terlalu. Saya cuma menyayangkan kalimat pembohongan kamu yang mengatakan kalau bisa memasak."

"Saya bisa masak selain rendang!" jawabku, secepat mungkin.

"Opor?"

"Se-lain opor."

"Gulai?"

"Se-lain itu?"

Gandhaa memijat kening, sementara aku menggigit bibir bawah, cemas. "Gudeg?"

"Ha?" Mengapa yang ia sebutkan semuanya hanya yang bisa dimasak oleh Mama? "Bapak mungkin menginginkan yang lain?"

"Bilang saja kamu nggak bisa masak, Pra. Jadi, nggak perlu menghancurkan dapur saya dan memberi harapan."

Setelah mengatakan kalimat penuh penghinaan itu, ia berlalu begitu saja.

He's such a fuck-up. What a mess he has. Saat di chat, ia terlihat manusiawi. Bahkan, ketika aku meminta izin karena Raka akan berenang, dengan jiwa ke-Bapak-an, Gandhaa bilang, "Tolong sampaikan pada Mbak Denada, saya minta tolong untuk terus mengawasi Raka dan Tristan. Dan, untuk kamu, Mbak Pra, selamat memasak." Lalu, mengapa kembali menjadi seperti itu?

Aku kembali menatap putus asa beberapa bahan yang aku sendiri tidak tahu harus diapakan. Dokter yang katanya kaya itu ternyata tak memiliki blender di rumahnya dan hanya ada apa ini bentuknya seperti batu dan Mama selalu membanggakan kalau ini yang membuat masakannya menjadi nikmat.

Aku tidak sudi menghancurkan tanganku dengan berkelahi melawan batu hitam ini.

"Dasar duda sombong! Mobil boleh Camry, tapi blender aja nggak punya. Muka boleh aja ganteng, tapi bekasan." Aku selalu berhasil dibuat kesal setiap berdialog dengan laki-laki itu, entah mengapa. "Dia nggak tahu apa harga barang bekas tuh gimana? Meski penampilan paripurna, kalau semuanya aja udah pernah dijamah orang, siapa yang mau lirik. Palingan juga kampret yang durhaka."

Wishy-Washy ✔️ [ SUDAH TERBIT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang