Kalau perjaka menggebu di kali pertama karena penasaran, beda lagi dengan duda, dia malah kesetanan karena lama menahan.
..
..
.."Please.... Lima menit lagi." Aku mengabaikan dering alarm, menarik bantal untuk menutup kepalaku. Lalu.... holy shit! Ini hari pertamaku kerja! "Kenapa bisa lupa, bego. Bego. Bego." Aku menyibakkan selimut, langsung bangkit dari kasur. "Astaga!" Kepalaku berdenyut nyeri karena bangun dengan keterkejutan. Aku diam sejenak, menarik napas dalam-dalam. "Ayo, Pra. Ayo. Jangan kalah melawan diri lo sendiri."
Lima belas menit menghabiskan waktu di kamar mandi, aku dengan cekatan mengambil dress baru. Persetan dengan petuah Mama kalau baru beli baju harus dicuci, karena aku tak memiliki banyak waktu. Selesai mengenakan dress selutut bewarna hijau lumut, aku berjongkok di depan laci, memilah scarf. Ah, bunga-bunga putih ini tak terlalu buruk.
Selesai melilitkannya di leher dan menata hingga rapi di dada, aku duduk di meja rias. Memandangi rambutku yang teramat sempurna ini. Tanpa bisa dicegah, bibirku melengkungkan senyuman manis. Kemudian, aku mulai memoleskan sedikit make up. Oke, cukup. Hari ini, tanpa bandana, sebab scarf sudah sangat membantu.
Pekerjaan boleh pengasuh, tetapi kecantikan tetap nomor satu.
Setelah tampil paripurna, aku berdiri di depan kaca, memutar-mutar tubuh. "Hai, Anak Manis. Hari pertama kerja, ya?" Aku terkikik sendiri membayangkan akhirnya tabunganku akan segera menerima suntikan vitamin. "Jangan nakal hari ini, Pra. Semangat!"
Meraih slinbag, memasukan benda keramat seperti biasa, aku duduk di pinggir ranjang. Membaca pesan singkat dari Mr. Doctor. Dia ngapain sudah ada di depan gerbang kompleks? Bukannya Laras bilang kalau anaknya punya sopir pribadi? Kukira, saat semalam Pak Gandhaa meminta alamat, itu untuk sopirnya.
Ah, persetan.
Mengenakan flat shoes, aku segera keluar kamar, menuruni tangga untuk ke ruang makan. Di sana, sudah ada lengkap ketiga sekawan yang menatapku dengan bibir terbuka. Oh jelas, Papa tidak termasuk. Berarti, hanya dua sekawan yang sedang gila.
"Terpesona, ya?"
"Kok cantik?" Mas Satya menggaruk-garuk kening. "Ini adik siapa ya... Apa, jangan-jangan anak orang masuk rumah sini, Ma?"
"Anak Mama itu. Ternyata, kalau dapat kerjaan, bisa cantik juga." Mama melambaikan tangan, menyodorkan segelas susu putih. "Dihabisin. Kalau kerja, kan harus banyak protein."
"Siap, Ma!" Aku mencomot setangkup roti. "Pra udah dijemput. Bye." Aku mengecup pipi Papa dan Mama bergantian. Minus Mas Satya. Enggak sudi.
"Asalamualaikum, Pra!"
Berhenti melangkah, aku membalikkan tubuh sambil nyengir. "Assalamualaikum, semuanya. Bye!" Baru satu langkah, aku kembali berhenti saat suara Mas Satya terdengar. "Apalagi sih, Mas. Ah."
Ia menyeringai. Firasatku sudah tak enak. Perlahan, jarinya menunjuk ke arah ... dadaku. "Kok agak besar, diganjel spons atau kapas boneka?"
Dengan rahang mengetat, aku memberinya jari tengah.
"PRA!"
Itu suara Mama. Dan, aku mengabaikannya.
Satya memang gila. Dia pikir aku semurah itu sampai harus memanipulasi organ tubuh. Ini semuanya asli. Lokal. Dan terjamin. Memang, meskipun dadaku tak bisa dibanggakan, tetapi, Laras mengakui kalai pahaku cukup menantang. Dan, kurasa laki-laki harus mulai paham, kalau hidup adalah pilihan. Paha atau dada. Itu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wishy-Washy ✔️ [ SUDAH TERBIT ]
Genç Kız EdebiyatıKarena laki-laki tampan bukan lagi menjadi incaran. Seiring berkembangnya zaman, selera perempuan tak akan pernah bisa kamu prediksi. ... ... ... Enjoy!