Detak jantung puisiku kini menemukan asanya kembali.
Ingin rasanya kuhabihabiskan semua aspirasi dalam diri.
Tentang kapitalis sang penulis sadis kejamudan para pemuda.
Menjadikan mereka mesin-mesin produksi yang menghasilkan.
Setelah itu dilupakan karena umur terus termakan bagaikan siklus kehidupan.Sendi-sendi puisiku seakan patah bertatah.
Mendengar tirani bernyanyi di negeri orang-orang mengaji.
Menjadi raja dengan mahkota yang durjana.
Pemuda yang sukar dan kini hanya bisa bermuram durja.Namun tulang-tulang puisiku tetap kokoh.
Jantungnyapun terus berdetak dan sendi-sendinya bertatah.
Aku, kau dan kita semua adalah pemuda tobak bangsa.
Yang mewariskan sumpah setia.
Yang bertanah air satu.
Berbangsa satu.
Dan berbahasa satu.Dan jadilah tubuh puisi ini bersukma.
Bangkitkan gelora semangat pemuda.
Tinggalkan kejamudan.
Karena kita bukanlah pemuda pekerja atas titah pemodal.Kita merdeka dan bekerja atas pikiran yang merdeka.
Dan melahirkan pekerjaan yang merdeka.
Atas nama kesadaran tanpa paksaan.Cikarang, 03 November 2017
KAMU SEDANG MEMBACA
Kerlingan Mata Penghuni Rumah Kardus {Sudah Dibukukan}
Poetry[[Sudah dibukukan]] siap diriliskan di UBUD WRINTERS 2018