"chaaa, ichaaa"
Seseorang memanggilnya, sekalipun dia tau siapa pemilik suara itu. Siapa lagi kalau bukan sahabatnya mira yang hobi teriak-teriak. Sepertinya sahabatnya itu punya jiwa aktifis. Cocok menjadi pendemo.
"Ya ampun Ra, ini sekolah bukan hutan. Manggilnya biasa ajah" Omel icha ketika mira telah berjalan beriringan dengannya.
"gue punya kabar hot buat loe"
"gaya loe kaya pembawa acara gosip ajah"
"jangan ngelawak dulu, gue yakin setelah loe dengar berita ini loe pasti galau, menampakkan bibir manyun pucat loe itu" sontak icha menghentikan langkahnya setelah mendengar penuturan sahabatnya itu. Dahinya menyatu dalam, menatap penuh tanya pada sahabatnya itu.
"maksud loe? " sebenarnya mira tak tega mencerirakan ini pada sahabatnya, tapi perasaan sepihak itu harus dimusnakan saat ini juga. Mira akhirnya menuntun icha masuk ke kelas, mengajak gadis itu duduk di bangku kebesaran mereka. Mira mulai menceritakan apa yang dia lihat saat mereka telah duduk sempurna. Sangat hati-hati dan terkesan berbisik sekalipun belum banyak orang yang ada di kelas mereka. Mira memilih kata-kata yang pas saat bercerita, takut sahabatnya itu sakit hati. Tapi, sehalus apapun kata-kata mira icha tetap bakal sakit hati. Bagaimana tidak, mira menceritakan padanya bahwa gadis itu melihat arka berboncengan dengan bu Lidya.
Kenyataan bahwa pagi ini arka berangkat bareng bu lidya membuat semangat paginya buyar. Tak ada yang harus disemangati. Harinya akan benar-benar lesu. Mira menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu memberi kekuatan padanya seraya berkata bahwa masih banyak cowok yang lebih baik dari arka. Tapi, nasi sudah jadi bubur, hatinya yang sudah terlanjur memilih siapa pemiliknya.
Amarra Lidya, guru sejarah yang super duper jutek yang mirip mak lampir klau lagi mengajar.
Hobby marah- marah, masalah sepeleh di besar besarin dan yang patut di ketahui bu Lidya itu salah satu makhluk yang bisa di sebut anak alay, setiap detik pasti selfi. Setidaknya itulah yang icha tau tentang bu gurunya itu.*
Tap. Tap. Tap
Suara sepatu seseorang melangkah santai menuju kelas XII Ipa 2. Bel masuk baru berbunyi, jantung para siswa itu sudah berpacu cepat. Muka cemas, keringat membasahi wajah mereka. Ini baru pelajaran pertama dan bukan pelajaran olahraga tapi mereka merasa telah melakukan keragakan pemanasan.
Guru cantik itu melenggok bak model masuk ke dalam kelas, menatap murid-muridnya dengan tatapan murka. Bisik-bisik para murid mulai terdengar, mengatakan bahwa gurunya itu selalu kesambet setan saat ingin masuk ke kelas mereka. Tatapan tajam, wajah angkuh nan arogan tercetak jelas di wajahnya. Guru cantik itu telah duduk sempurna di bangkunya, menatap sekali lagi pada murid-muridnya. Sungguh bukan hari yang menyenangkan bagi murid-murid itu.
"Rahma!, kamu itu ke sekolah datang belajar apa bergaya? " tanya bu Lidya pada siswinya. Yah, guru cantik itu adalah Bu Lidya. Guru yang super duper galak. Teman-teman rahma menatap ibah pada gadis itu, mereka yakin setelah ini ibu guru mereka itu akan mengkritik penampilan teman mereka.
"be-belajar bu" jawabannya gelagapan.
"belajar tapi bibir sama muka dipoles kaya mau ke kondangan saja. Kalau ke sekolah memang niatnya buat belajar ngga perlu dandan segala. Buat apa dandan? Mau narik perhatian teman-teman cowok kamu?, kalau mereka memang suka sama kamu tidak perlu kamu dandanpun mereka tetap akan terpesona" mendengar hal itu rahma hanya tertunduk malu, dirinya sama sekali tidak berniat untuk menarik perhatian teman-teman cowoknya, hanya memang dirinya suka make up tidak lebih.
"besok saya tidak mau melihat wajahmu dipoles seperti itu" rahma hanya bisa mengangguk, tidak berani menentang perkataan gurunya itu. Lebih baik dia mencari posisi aman daripada harus berurusan sama bu lidya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Love My Cousin
Teen FictionKetika rasa harus membodohiku.. Salahkah aku mencintaimu? Haruskah aku menghapusnya?