Dalam setiap tatapannya terhampar sebuah kekosongan. Tidak ada yang tahu apa yang ia lihat dalam setiap terawangan kekosongannya itu. Paulina Margaura, itulah nama gadis yang selalu terlarut dalam kekosongan. Ia seolah tidak peduli dengan kehidupan di sekitarnya. Kesunyianlah yang kini menjadi teman terbaiknya.
"Pauli, kau sedang apa?" tanya seorang pemuda yang kini duduk di tempat tidur Pauli.
Pauli tetap tak acuh. Ia seolah tuli. Pauli tak melepaskan apa yang dilihatnya. Tidak! Pandangannya tidak seperti sedang melihat sesuatu. Kosong! Ya, pandangannya terlihat kosong. Pemuda tersebut menghembuskan napasnya yang entah mengapa terasa berat.
"Pauli, sampai kapan kau seperti ini?" tanyanya lagi.
Pauli membalikkan badannya.
Sebuah senyuman melengkung di wajah pemuda tersebut karena akhirnya Pauli menanggapi ucapannya. Namun nyatanya salah karena Pauli berlalu meninggalkannya tanpa sepatah kata pun. Pemuda tersebut menghembuskan napasnya yang masih terasa berat. Ia menengadahkan wajahnya, menatap langit-langit kamar Pauli. Raut wajahnya kini terlihat begitu keruh.
Pauli...
Pemuda tersebut kini melihat ke arah sebuah lukisan yang menggantung di beranda kamar Pauli. Lukisan yang terlihat seperti sebuah benang kusut. Ia menghampiri lukisan tersebut lalu memegangnya. Entah mengapa dadanya kini merasa sesak. Lukisan ini seolah menjadi gambaran hidup Pauli yang tidak dapat diceritakan.
Maafkan aku, sungguh maafkan aku.
Buliran bening kini mulai ingin menjebol kantung matanya. Rasa sesak menguasai dadanya. Pandangannya kini beralih pada sebuah jam dinding yang tak hentinya berdetak. Seandainya, ya, seandainya dengan ia memutar mundur arah jarum pendek tersebut ke bebarapa ribu jam yang lalu dapat mengembalikannya ke masa lalu, pasti itu akan ia lakukan. Tetapi, kenyataannya, berapakali pun ia memutar mundur jarum jam terebut, waktu tidak akan ikut berputar mundur juga. Kenyataannya, masa lalu hanyalah sebuah kenangan yang tak peduli itu pahit atau manis. Kenyataannya, waktu tak pernah memberikannya kesempatan untuk memperbaiki masa lalu itu. Kenyataannya, seberapa besar pun ia menyesal, rasa sesalnya tak pernah bisa membuat semua pahit itu menjadi manis.
"Nel," sapa seorang gadis berambut pirang yang tengah membawakan air putih untuknya.
Pemuda tersebut mengalihkan pandangannya dari jam dinding pada gadis yang memanggilnya.
"Sara..," jawabnya yang terdengar lirih.
Sara meletakkan air putih pada sebuah meja rias yang ada di kamar Pauli.
"Kau tidak usah merasa bersalah. Semua ini adalah pilihan Pauli. Ia yang telah memilih untuk menutup matanya dari semua yang ada di sekitarnya. Ini bukan salahmu. Ini pilihannya," ucap Sara yang seolah tahu apa yang Nel pikirkan.
Nel menatap Sara. Sesungguhnya, ucapan Sara membuatnya semakin merasa bersalah.
"Sara, mengapa kau tak menyalahkanku?" tanya Nel.
"Itu karena kau memang tak salah, Nel," jawab Sara.
Gadis berambut pirang tersebut kini berjalan ke arah jendela yang terbuka. Ia menatap hamparan biru yang menurutnya terlihat sangat indah. Jujur, ucapan Sara semakin melukainya. Ia akan lebih senang jika Sara menghukumnya, mencacinya atau bahkan membunuhnya.
"Kau tahu, Nel? Jika ada yang harus disalahkan, orang itu adalah aku bukan kau atau yang lainnya. Semua ini salahku yang tidak bisa menjaga amanah kedua orang tuaku untuk menjaga Pauli. Aku yang salah karena tak pernah menyediakan bahuku ketika Pauli membutuhkan sandaran. Aku yang salah karena selalu mementingkan pekerjaan daripada dia yang adikku sendiri. Aku yang salah karena takpernah menyediakan satu dari dua puluh empat jam waktu yang kupunya untuknya. Semua ini salahku, Nel. Salahku! " isak Sara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vonis Kematian
Mystery / ThrillerSosok berjubah hitam yang seperti dewa kematian datang di kehidupan Nel dan teman-temannya. Dia memerangkap mereka dalam teror kematian dan membuat mereka kembali mengingat dosa yang mereka lalukan di masa lalu. Sebenarnya dosa apa yang mereka lakuk...