"Kau apa kabar? Apa kau tenang di sana? Apa kau bahagia?" tanya seorang gadis yang mengenakan dress hitam seraya meletakkan seikat mawar merah di sebuah nisan yang bertuliskan "Landy Zelpianitra". Gadis tersebut mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitarnya.
"Apa kau tahu Landy? Sekarang Shally sedang koma. Sudah seminggu ini dia koma dan dari hasil pemeriksaannya juga tak menunjukkan perkembangan yang berarti." Gadis tersebut menghela napasnya yang seolah terasa berat dan membuat dadanya terasa sesak.
Ia terus mencabuti rumput liar yang tumbuh di sekitar makam Landy. Matanya berkaca-kaca. Aliran bening seolah ingin menjebol kantung matanya. Gadis tersebut menengadaahkan kepalanya, menatap hamparan biru yang di mana di sekitarnya menggantung gumpalan putih.
Aku harus kuat. Aku bukanlah gadis yang lemah.
Gadis tersebut tidak lain adalah Rauna. Rauna menghembuskan napasnya yang terasa berat. Ia lalu kembali mencabuti rumput liar yang tumbuh di makam Landy. Air mata kini benar-benar telah menjebol kantung matanya. Ia menangis, tetapi tidak terisak.
"Landy, aku takut Shally akan meninggalkanku," lirih Rauna.
"Aku telah kehilangan kau dan Stephy, dan sekarang aku tidak ingin kehilangan Shally," lanjutnya.
Rauna menghapus air mata yang kini telah membanjiri pipinya. Ia lalu mengusap nisan Landy dan tersenyum miris.
"Lan, apa ini hukuman untukku dan teman-teman atas kesalahan kami padamu dan pada..--" ucapan Rauna terhenti. Ia seolah berat menyebutkan nama orang tersebut. Rauna lalu menghembuskan napasnya yang terasa berat.
"Lan, aku harap kau memaafkan kami semua. Kami sadar perbuatan kami dulu di luar batas kewajaran. Kami sadar, kami memang salah. Untuk itu tolong berikan kami kesempatan untuk memperbaiki semuanya."
Rauna menghapus air mata yang telah membasahi kedua pipinya. Ia lalu kembali menatap gumpalan putih di hamparan biru diatas sana. Rauna menghembuskan napasnya lalu kembali mengenakan kacamata hitamnya untuk menyembunyikan matanya yang sembab. Dia berdiri lalu membungkuk ke arah makam Landy.
Rauna kini mulai beranjak pergi. Tanpa ia sadari, seseorang yang mengenakan jubah hitam tengah memerhatikannya dari balik sebuah pohon besar yang tumbuh di tengah pemakaman. Sosok berjubah hitam itu menyeringai.
Permainan akan berlanjut kembali, karena vonis masih belum berakhir. Keadilan akan tetap berdiri tanpa peduli siapa dan tanpa tetapi. Semua akan menerima buah tangannya.
Sosok berjubah hitam itu tak melepaskan pandangannya pada Rauna yang tadi berkunjung ke makam Landy. Ia terus memandangi langkahnya yang menjauh meninggalkan areal pemakaman. Sebuah daun kering tiba-tiba jatuh tak jauh dari sosok berjubah hitam tersebut. Apakah itu adalah sebuah pertanda?
Malam ini seorang lelaki berperawakan jangkung dan berkulit putih tengah menatap langit malam yang sangat muram. Gambaran langit mala mini seolah mencerminkan hatinya saat ini. Gelap tanpa sinar. Sesekali pemuda tersebut mengarahkan pandangannya ke arah seorang gadis yang masih terbaring dan tak sadarkan diri.
"Sampai kapan kau akan tertidur seperti ini?" tanyanya.
Pertanyaan tersebut seolah ia ajukan untuk dirinya sendiri. Pemuda tersebut menghela napasnya yang terasa berat. Ada luka yang ada di hatinya, tapi tak berdarah maupun berbentuk, namun terasa menyakitkan. Ia lalu kembali mengalihkan pandangannya ke arah langit yang tak berbintang.
Matahari sore ini seolah sedang mengulum senyumnya. Sepasang muda-mudi kini tengah menikmati suasana sore yang indah di sebuah danau yang indah pula. Namun, keindahan suasana sore ini sepertinya tidak dapat menghapuskan kesedihan yang bergelayut dalam hati gadis berambut hitam ikal yang sekarang ini tengah duduk di samping pemuda yang berperawakan tinggi dan berkulit putih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Vonis Kematian
Mystery / ThrillerSosok berjubah hitam yang seperti dewa kematian datang di kehidupan Nel dan teman-temannya. Dia memerangkap mereka dalam teror kematian dan membuat mereka kembali mengingat dosa yang mereka lalukan di masa lalu. Sebenarnya dosa apa yang mereka lakuk...