9th ~ Second Puzzle

36 4 0
                                    

"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana," keluh Bryan pada Shally yang masih belum sadarkan diri.

Tangan Bryan menggenggam tangan Shally erat. Sepasang matanya yang sewarna zamrud memandang sayu perempuan yang sudah lama dia sukai dalam diam. Perempuan itu masih betah memejamkan matanya. Dia terlihat sangat tenang di mata Bryan.

"Sejujurnya, aku tahu, tidak seharusnya aku mencurigai Nel. Tapi, kau tahu, Shal?"

Bryan menarik napasnya perlahan. Tangannya semakin erat menggenggam jemari-jemari lentik tangan Shally.

"Semua petunjuk yang aku temukan mengarah pada Nel. Tidak hanya itu, Shall. Sikap Nel pun akhir-akhir ini sangat mencurigakan. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana."

Bryan menghentikan keluhannya sejenak untuk kembali mengatur napas yang membuat dadanya sesak. Wajahnya kini tak lagi memandang Shally. Ia menundukkan kepalanya.

"Aku tahu tak seharusnya bersikap seperti ini. Tetapi kau tahu Shall? Nel yang sekarang berbeda dengan Nel yang kita kenal dulu. Aku merasa sama sekali tak mengenalinya lagi. Dia seperti orang lain," ujar Bryan dengan suaranya yang lirih.

Sebutir air mata terjatuh dari sudut mata sebelah kiri Bryan tanpa disadarinya. Genggaman tangannya pada jemari tangan Shally melonggar. Namun, gemuruh di dadanya tak juga surut. Dalam hati dan pikirannya terdapat pertentangan, antara mempercayai dan tidak mempercayai Nel.

"What should I do, Shal?"  Suara Bryan terdengar semakin lirih dan bergetar.

"Kau tahu, semenjak kematian Stephanny, semua yang terjadi belakangan ini seperti mimpi buruk. Bu Neora dibunuh dengan cara yang sama seperti Stephanny dan sekarang Rauna sudah beberapa hari ini menghilang," lanjut Bryan.

Matanya kini menatap pada wajah Shally. Mata perempuan itu masih saja terpejam dan tak menjukkan tanda akan terbangun. Ia sedikit pun tak terusik dengan semua keluhan Bryan. Bryan menghembuskan napasnya perlahan. Melihat keadaan Shally membuat dadanya terasa nyeri. Ah, dia benar-benar merindukan rengekkan perempuan di hadapannya ini .

"Ah, maafkan aku. Tak seharusnya aku membuatmu cemas seperti ini," ujar Bryan disertai senyuman. Sebuah senyuman yang terlihat hambar.

Tangan Bryan kini beralih mengusap rambut Shally dan bibirnya masih menyunggingkan sebuah senyuman.

"Aku pergi dulu, Shall. Nanti aku akan mengunjungimu lagi. Aku harap kau akan segera bangun dari tidur nyenyakmu," ujar Bryan lalu mengecup lembut kening Shally.

Bryan berjalan meninggalkan ruang rawat Shally. Tepat saat Bryan menutup pintu, kedua mata Shally terbuka. Namun hanya dalam hitungan detik mata itu kembali tertutup.

****

Pauli tertegun sejenak. Suara itu, suara yang Pauli kenali. Dia lalu berhenti meronta, ingin memastikan bahwa indranya tak salah mendengar suara orang itu.

"Ne, Nel?" Tanya Pauli ragu.

Pauli mendengar orang yang berada di hadapannya menghembuskan napas yang seolah terasa berat.

"Kau, Nel?" Pauli kembali memastikan.

"Maafkan aku Pauli, sungguh."

Pauli tidak tahu harus merasa lega atau kecewa karena orang yang melakukan semua ini adalah orang yang dikenalnya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Vonis KematianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang